Translate

Kamis, 10 April 2014

MEMAHAMI KONSEP/ FILOSOFI DALIHAN NATOLU



            Batak Toba, suku yang Besar di Pulau Sumatera memiliki tatanan masyarakat yang cukup unik. Dimana adanya dinamika kasta. Arinya tidak selamanya seseorang menjadi raja, pelayan ataupun saudara. Ada masa dimana kita harus menjadi Tuan Rumah,  tapiu ada juga masa dimana kita harus menjadi pelayan dalam acara tertentu. Hal ini terangkum jelas dalam filosofis masyarakat Batak Toba yang menjunjung kekerabatan yang disebut dengan “Dalihan Natolu”.

            Dalihan Na Tolu adalah filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga tungku tersebut adalah:
ü  Somba Marhulahula: ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hul-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya pada som berarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini tekananya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula. Hula-hula adalah kelompok marga istri, mulai dari istri kita, kelompok marga ibu(istri bapak), kelompok marga istri opung, dan beberapa generasi; kelompok marga istri anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu. Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hulahula sebagai sumber hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hulahula. Tanpa hulahula tidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan.
ü  Elek Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan. Berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita(anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang. tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
ü  Manat mardongan tubu/sabutuha, suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati–hati dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan, dan lain-lain.
Istilah Dalihan Na Tolu mempunyai arti tungku berkaki tiga. Ini menunjukkan tiga kedudukan fungsional sebagai konstruksi sosial yang terdiri atas tiga hal yang menjadi dasar bersama.
Ketiga tungku mewakili tiga pihak dalam pernikahan secara adat, yaitu hula-hula (keluarga pemberi istri), boru (keluarga penerima istri), dan dongan sabutuha (kelompok semarga).
Dari tiga kelompok itu, kelompok penerima istri (boru) inilah yang paling sibuk mengurusi urusan resepsi pernikahan. Adapun kelompok hula-hula sama sekali pantang membantu proses pernikahan tersebut.
Konsep Dalihan Na Tolu juga berlaku pada subetnis Batak lain, seperti Karo, Simalungun, Mandailing/Angkola, dan Pakpak. Orang Karo menyebut konsep ini dengan istilah Rakut Sitelu atau Daliken Sitelu. Istilah Daliken Sitelu juga istilah yang dipakai masyarakat Pakpak. Adapun subetnis Simalungun menyebutnya Tolu Sahundulan. Adapun orang Mandailing/Angkola tetap menyebutnya Dalihan Na Tolu.
Dengan adanya konsep ini, masyarakat batak Toba tidak harus merasa Minder, dengan status mereka. Karena mereka pasti akan merasakan ketiga jabatan tersebut. Secara tidak langsung, filosofi ini mengajarkan kesetaraan kelas dalam masyarakat dalam cara yang sulit dimengerti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar