Ketika
sesama suku Batak bertemu kemudian berkenalan, maka yang paling utama yang
harus diketahui adalah marga. bukan tanpa alasan, menanyakan marga adalah suatu
bentuk perkenalan orang Batak untuk mengetahui panggilan yang harus dihaturkan
sebagai wujud dari melek adat. Apakah Hula-hula, Boru atau Dongan Tubu.
Walaupun mereka memiliki marga yang berbeda bisa saja ditarik persaudaraan dari
banyak pihak, seperti pihak ibu, ipar, sepupu bahkan tetangga. Untuk
mengetahui panggilan apa yang harus disematkan, maka seorang anak suku batak
harus tahu yang namanya tarombo, bukan hanya masalah nomor keturunan, tapi juga
marga apa saja yang menjadi dongan tubu, padan, hula hula atau boru.
Sama
dengan pengalaman yang pernah dialami penulis, dimana banyak orang bingung
dengan marga yang disandangnya kala berkenalan dengan orang batak dari wilayah
berbeda. ketika penulis menggunakan marga Rambe, banyak orang yang tidak
mengenal. tapi ketika disebut Simamora semua orang langsung tahu. pertanyaannya
adalah apakah Simamora itu sama dengan Rambe?
Untuk
mengetahui hubungan kedua marga ini, perlu kita menelusuri silsilah Tuan
Sumerham, yang menjadi asal mula adanya marga Rambe.
Sebagai
ringkasan Sejarah dan Tarombo Tuan Sumerham dari data-data yang telah
didapatkan oleh suatu Team Khusus, maka kita biasa ringkaskan sebagai berikut :
Toga
Sumbara, generasi ke 6 dari Si Raja Batak, mempunyai dua putera yang dinamakan
Toga Simamora dan Toga Sihombing. Toga Simamora menikah dengan Boru saribu
Raja/ Borbor dan menetap di Tipang Bakkara, tepi Danau Toba. Dari perkawinan
tersebut Toga Simamora mempunyai dua anak, satu putera dan satu puteri. Sang
putera dinamai Tuan Sumerham dan puterinya yang buta sejak lahir diberi nama
Boru Aek So Hadungdungan. sementara adik Toga Simamora, Toga Sihombing menikah
dengan Boru Lontung dan mempunyai empat putera, yaitu:SILABAN, LUMBANTORUAN,
NABABAN dan HUTASOIT.
Suatu
ketika, Toga Sihombing meninggal. Sebagai adat kebiasaan Batak waktu itu, maka
sang istri yang ditinggalkan akan dinikahkan dengan saudara (bisa kakak maupun
adik) yang meninggal. hal ini kemungkinan disebabkan karena sang istri telah
dianggap hak milik keluarga si pria lantaran telah dinikahi dengan memberi sinamot
kepada pihak keluarga si wanita. maka Toga Simamora menikahi si Boru Lontung
(Mangabia) dan memiliki tiga anak yaitu: PURBA, MANALU
dan DEBATARAJA.
Dengan
demikian TOGA SIMAMORA mempunyai 4 (empat) putera BUKAN 3 (TIGA), yaitu :
1. TUAN SUMERHAM
2. PURBA
3. MANALU dan
4. DEBATARAJA
Jadi
TUAN SUMERHAM, PURBA, MANALU DAN DEBATARAJA adalah empat bersaudara satu bapak
dan dua ibu.Orang Batak bilang “OPAT MARSABUTUHA SISADA AMA MARDUA INA”.
Silaban,
Lumbantoruan, Nababan, Hutasoit adalah empat orang putera Boru Lontung dari
suaminya yang pertama Toga Sihombing, sedangkan Purba, Manalu, Debataraja
adalah tiga orang puteranya Boru Lontung dan suaminya yang kedua Toga Simamora.
Orang Batak bilang “PITU MARSABUTUHA SISADA INA MARDUA AMA”.
Keturunan
Toga Simamora dan Toga Sihombing, bermukim di Tano Tipang Bakkara.
Tuan Sumerham bersama tiga orang Saudara tirinya (Purba Manalu
Debataraja), tinggal serumah dan keturunan Toga Sihombing berada serumah
di tempat lain.Tuan Sumerham memperistri putri dari keluarga marga
Siregar juga cucu dari Lottung. Kemudian sejarahnya, semuanya sudah
berkeluarga. Purba, Manalu, Debataraja masing-masing
segera dikaruniai anak. Sedangkan Tuan Sumerham dengan istrinya
Tiopipian br. Siregar belum mempunyai anak. Hal inilah salah satu yang
menganjal hubungan antara
keluarga Tuan Sumerham dengan ketiga Saudara tirinya.
Berbagai ejekan dan hinaan hampir setiap hari diterima oleh oppung kita,
boru Siregar dan tetap tidak “dihailahon tondi na” Hal ini juga diselami
oppung kita Tuan Sumerham. Pada suatu saat oppung boru kita,
boru Siregar memohon kepada Tuan Sumerham, agar mereka pergi jauh
dari ketiga Saudara tirinya nya, karena boru Siregar sudah tidak tahan
lagi atas ejekan dan hinaan para istri ketiga Saudara tirinya. Akhirnya
pada suatu malam hari, saat Saudara tirinya tertidur, mereka meninggalkan
Tano Tipang Bakkara dengan terlebih dahulu mengamankan pusaka Toga
Simamora yaitu,
- Pedang
sitastas nambur yang diikat oleh emas, Tetapi Sarung dari Pedang
disembunyikan di Bonggar-bonggar.
- Tombak,
tangkainya (stik) di kubur di salah satu tiang rumah.
- Pustaha
(buku lak-lak).
- Gong
(ogung sarabanan) di kubur di pokok nangka silambuyak (pinasa silambuyak).
Setelah Tuan
Sumerham mengamankan ke-empat barang pusaka tersebut, maka merekapun pergi
menuju suatu tempat yang belum mereka ketahui. Sebagai acuan
mereka tinggal di mana?, Oppung Tuan Sumerham mempersiapkan sekepal
tanah dari Tano Tipang Bakkar, yang akan di bandingkan dengan tanah
pilihan mereka dimana kelak akan berdiam/tinggal. Rupanya Tuan
Sumerham, masih mempunyai keyakinan, kelak akan kembali dan mempunyai
keturunan. Hal ini ditandai oleh, :”setiap belokan Tuan Sumerham menjepitkan lidi
pohon aren (pakko) dengan ujung lidi tersebut mengarah ke arah dari mana mereka
datang”
Catatan
(ceritra tambahan, sesampainya mereka di bukit, untuk beristirahat, karena
bukit tersebut tidak cocok dengan tanah yang mereka bawa lalu bergegas untuk
melanjutkan perjalanan, ternyata, sanggul /konde oppugn boru kita tertinggal di
sana, maka disebut Dolok Sanggul. Setelah menuruni bukit tadi, mereka
beristirahat sambil mencocokan tanah yang mereka bawa. Ternyat tidak cocok juga
maka mereka kembali bergegas melanjutkan perjalanan. Rupanya tongkat Oppung
boru Siregar yang terbuat dari bambu, ketinggalan ditempat mereka istirahat.
Maka tempat itu dinamakan Sibuluan) Tibalah mereka (Tuan Sumerham dan Tiopipian
br Siregar)
di suatu tempat pebukitan, yang kita kenal sekarang bernama “LOBU TONDANG”
Pebukitan tersebut sangat cocok dan pas dengan tanah yang mereka bawa dari Tipang
Bakkara. Mereka pun tinggal di sana. Dipelataran Lobu Tondang, terdapat sebuah
pohon, yang disebut pohon rambe, yang setiap saat berbuah banyak. Tidak mengenal
musim, kembang dan buah matang silih
berganti setiap saat. Itu sebabnya buah matang tidak pernah kosong dan lumayan
banyak. Rasanya manis asam dan lebih dominant rasa manisnya kalau sudah matang sempurna.
Buah inilah yang menjadi makanan mereka setiap hari, ditambah dengan hasil
berburu, sebelum hasil
tani mereka panen. Sedikit ke lereng pebukitan tersebut, terdapat mata air yang
keluar dari Batu sangat segar dan jernih, menjadi sumber air bersih dan cuci
mandi bagi Tuan Sumerham dan boru Siregar.
Dalam keadaan tanah tercangkul dii areal mereka tinggal, Oppung boru bingung,
mau menanam apa? Sementara sebiji benihpun tidak mereka bawa. Tanpa diketahui
dari ana asalnya, tumbuh sebatang padi di ladang yang merka cangkul, lalu
meraka rawat dan dibuat menjadi benih, itulah asal mula mereka bertanam padi.
Penulis masih sempat memakan nasinya disebut padi sisior
berasnya merah, dan sering dikatakan orang di kampong Pakkat, padi si Rambe.
Padi tersebut punah akibat bibit padi unggul dari pemerintah. Ternyata buah
rambe ini mungkin mempunyai khasiat**) untuk menyuburkan kedua oppung kita Tuan
Sumerham dan boru Siregar. Maka pada suatu saat Oppung kita boru Siregar
mengandung anak pertamanya. dan seterusnya hingga mempunyai tiga orang putra
dan satu orang putri bernama Surta Mulia br. Rambe. Anak Pertama diberi nama
Rambe Toga Purba, Anak Kedua diberi nama Rambe Raja Nalu, yang terakhir Rambe
Anak Raja dan Rambe menjadi icon ketiga anaknya dengan keyakinan, karena Buah
Rambe itulah Tuan Sumerham dan boru Siregar dapat berketurunan yang selanjutnya
menjadi marga keturunan Tuan Sumerham.**)
Ketika
sesama suku Batak bertemu kemudian berkenalan, maka yang paling utama yang
harus diketahui adalah marga. bukan tanpa alasan, menanyakan marga adalah suatu
bentuk perkenalan orang Batak untuk mengetahui panggilan yang harus dihaturkan
sebagai wujud dari melek adat. Apakah Hula-hula, Boru atau Dongan Tubu.
Walaupun mereka memiliki marga yang berbeda bisa saja ditarik persaudaraan dari
banyak pihak, seperti pihak ibu, ipar, sepupu bahkan tetangga. Untuk
mengetahui panggilan apa yang harus disematkan, maka seorang anak suku batak
harus tahu yang namanya tarombo, bukan hanya masalah nomor keturunan, tapi juga
marga apa saja yang menjadi dongan tubu, padan, hula hula atau boru.
Sama
dengan pengalaman yang pernah dialami penulis, dimana banyak orang bingung
dengan marga yang disandangnya kala berkenalan dengan orang batak dari wilayah
berbeda. ketika penulis menggunakan marga Rambe, banyak orang yang tidak
mengenal. tapi ketika disebut Simamora semua orang langsung tahu. pertanyaannya
adalah apakah Simamora itu sama dengan Rambe?
Untuk
mengetahui hubungan kedua marga ini, perlu kita menelusuri silsilah Tuan
Sumerham, yang menjadi asal mula adanya marga Rambe.
Sebagai
ringkasan Sejarah dan Tarombo Tuan Sumerham dari data-data yang telah
didapatkan oleh suatu Team Khusus, maka kita biasa ringkaskan sebagai berikut :
Toga
Sumbara, generasi ke 6 dari Si Raja Batak, mempunyai dua putera yang dinamakan
Toga Simamora dan Toga Sihombing. Toga Simamora menikah dengan Boru saribu
Raja/ Borbor dan menetap di Tipang Bakkara, tepi Danau Toba. Dari perkawinan
tersebut Toga Simamora mempunyai dua anak, satu putera dan satu puteri. Sang
putera dinamai Tuan Sumerham dan puterinya yang buta sejak lahir diberi nama
Boru Aek So Hadungdungan. sementara adik Toga Simamora, Toga Sihombing menikah
dengan Boru Lontung dan mempunyai empat putera, yaitu:SILABAN, LUMBANTORUAN,
NABABAN dan HUTASOIT.
Suatu
ketika, Toga Sihombing meninggal. Sebagai adat kebiasaan Batak waktu itu, maka
sang istri yang ditinggalkan akan dinikahkan dengan saudara (bisa kakak maupun
adik) yang meninggal. hal ini kemungkinan disebabkan karena sang istri telah
dianggap hak milik keluarga si pria lantaran telah dinikahi dengan memberi sinamot
kepada pihak keluarga si wanita. maka Toga Simamora menikahi si Boru Lontung
(Mangabia) dan memiliki tiga anak yaitu: PURBA, MANALU
dan DEBATARAJA.
Dengan
demikian TOGA SIMAMORA mempunyai 4 (empat) putera BUKAN 3 (TIGA), yaitu :
1. TUAN SUMERHAM
2. PURBA
3. MANALU dan
4. DEBATARAJA
Jadi
TUAN SUMERHAM, PURBA, MANALU DAN DEBATARAJA adalah empat bersaudara satu bapak
dan dua ibu.Orang Batak bilang “OPAT MARSABUTUHA SISADA AMA MARDUA INA”.
Silaban,
Lumbantoruan, Nababan, Hutasoit adalah empat orang putera Boru Lontung dari
suaminya yang pertama Toga Sihombing, sedangkan Purba, Manalu, Debataraja
adalah tiga orang puteranya Boru Lontung dan suaminya yang kedua Toga Simamora.
Orang Batak bilang “PITU MARSABUTUHA SISADA INA MARDUA AMA”.
Keturunan
Toga Simamora dan Toga Sihombing, bermukim di Tano Tipang Bakkara.
Tuan Sumerham bersama tiga orang Saudara tirinya (Purba Manalu
Debataraja), tinggal serumah dan keturunan Toga Sihombing berada serumah
di tempat lain.Tuan Sumerham memperistri putri dari keluarga marga
Siregar juga cucu dari Lottung. Kemudian sejarahnya, semuanya sudah
berkeluarga. Purba, Manalu, Debataraja masing-masing
segera dikaruniai anak. Sedangkan Tuan Sumerham dengan istrinya
Tiopipian br. Siregar belum mempunyai anak. Hal inilah salah satu yang
menganjal hubungan antara
keluarga Tuan Sumerham dengan ketiga Saudara tirinya.
Berbagai ejekan dan hinaan hampir setiap hari diterima oleh oppung kita,
boru Siregar dan tetap tidak “dihailahon tondi na” Hal ini juga diselami
oppung kita Tuan Sumerham. Pada suatu saat oppung boru kita,
boru Siregar memohon kepada Tuan Sumerham, agar mereka pergi jauh
dari ketiga Saudara tirinya nya, karena boru Siregar sudah tidak tahan
lagi atas ejekan dan hinaan para istri ketiga Saudara tirinya. Akhirnya
pada suatu malam hari, saat Saudara tirinya tertidur, mereka meninggalkan
Tano Tipang Bakkara dengan terlebih dahulu mengamankan pusaka Toga
Simamora yaitu,
- Pedang
sitastas nambur yang diikat oleh emas, Tetapi Sarung dari Pedang
disembunyikan di Bonggar-bonggar.
- Tombak,
tangkainya (stik) di kubur di salah satu tiang rumah.
- Pustaha
(buku lak-lak).
- Gong
(ogung sarabanan) di kubur di pokok nangka silambuyak (pinasa silambuyak).
Setelah Tuan
Sumerham mengamankan ke-empat barang pusaka tersebut, maka merekapun pergi
menuju suatu tempat yang belum mereka ketahui. Sebagai acuan
mereka tinggal di mana?, Oppung Tuan Sumerham mempersiapkan sekepal
tanah dari Tano Tipang Bakkar, yang akan di bandingkan dengan tanah
pilihan mereka dimana kelak akan berdiam/tinggal. Rupanya Tuan
Sumerham, masih mempunyai keyakinan, kelak akan kembali dan mempunyai
keturunan. Hal ini ditandai oleh, :”setiap belokan Tuan Sumerham menjepitkan lidi
pohon aren (pakko) dengan ujung lidi tersebut mengarah ke arah dari mana mereka
datang”
Catatan
(ceritra tambahan, sesampainya mereka di bukit, untuk beristirahat, karena
bukit tersebut tidak cocok dengan tanah yang mereka bawa lalu bergegas untuk
melanjutkan perjalanan, ternyata, sanggul /konde oppugn boru kita tertinggal di
sana, maka disebut Dolok Sanggul. Setelah menuruni bukit tadi, mereka
beristirahat sambil mencocokan tanah yang mereka bawa. Ternyat tidak cocok juga
maka mereka kembali bergegas melanjutkan perjalanan. Rupanya tongkat Oppung
boru Siregar yang terbuat dari bambu, ketinggalan ditempat mereka istirahat.
Maka tempat itu dinamakan Sibuluan) Tibalah mereka (Tuan Sumerham dan Tiopipian
br Siregar)
di suatu tempat pebukitan, yang kita kenal sekarang bernama “LOBU TONDANG”
Pebukitan tersebut sangat cocok dan pas dengan tanah yang mereka bawa dari Tipang
Bakkara. Mereka pun tinggal di sana. Dipelataran Lobu Tondang, terdapat sebuah
pohon, yang disebut pohon rambe, yang setiap saat berbuah banyak. Tidak mengenal
musim, kembang dan buah matang silih
berganti setiap saat. Itu sebabnya buah matang tidak pernah kosong dan lumayan
banyak. Rasanya manis asam dan lebih dominant rasa manisnya kalau sudah matang sempurna.
Buah inilah yang menjadi makanan mereka setiap hari, ditambah dengan hasil
berburu, sebelum hasil
tani mereka panen. Sedikit ke lereng pebukitan tersebut, terdapat mata air yang
keluar dari Batu sangat segar dan jernih, menjadi sumber air bersih dan cuci
mandi bagi Tuan Sumerham dan boru Siregar.
Dalam keadaan tanah tercangkul dii areal mereka tinggal, Oppung boru bingung,
mau menanam apa? Sementara sebiji benihpun tidak mereka bawa. Tanpa diketahui
dari ana asalnya, tumbuh sebatang padi di ladang yang merka cangkul, lalu
meraka rawat dan dibuat menjadi benih, itulah asal mula mereka bertanam padi.
Penulis masih sempat memakan nasinya disebut padi sisior berasnya merah, dan sering dikatakan orang di kampong Pakkat, padi si Rambe.
Padi tersebut punah akibat bibit padi unggul dari pemerintah. Ternyata buah
rambe ini mungkin mempunyai khasiat**) untuk menyuburkan kedua oppung kita Tuan
Sumerham dan boru Siregar.
Maka pada suatu saat Oppung kita boru Siregar
mengandung anak pertamanya. dan seterusnya hingga mempunyai tiga orang putra
dan satu orang putri bernama Surta Mulia br. Rambe. Anak Pertama diberi nama
Rambe Toga Purba, Anak Kedua diberi nama Rambe Raja Nalu, yang terakhir Rambe
Anak Raja dan Rambe menjadi icon ketiga anaknya dengan keyakinan, karena Buah
Rambe itulah Tuan Sumerham dan boru Siregar dapat berketurunan yang selanjutnya
menjadi marga keturunan Tuan Sumerham.**)
Beberapa orang parumaen Rambe yang lama tidak mempunyai keturunan, dengan hati
yang tulus dan tekat yang murni, pergi ke Lobu Tondang untuk memakan buah Rambe,
ternyata menjadi punya anak. Ketulusan dan kemurnian tekad serta tidak ada rasa
ego dan serakah, akan membuahkan hasil. Ini dibuktikan dua orang paniaran rambe
salah satu parumaen Rambe yang
serakah, didorong oleh keinginan yang kuat, sehingga dia berpikir biarlah saya
yang berhasil, yang lain tidak perduli, maka dia gagal mempunyai keturunan.
Karena pada saat itu ada bersama dia juga parumaen Rambe, hampir tidak kebagian
dibuat yang bersikap serakah tersebut. Dan
memangis di pohon rambe tersebut. Karena seseorang kasihan, maka sebiji rambe
yang dia pegang dengan maksud untuk dimakan, akhirnya diberikan kepada yang menangis.
Ternyata dia yang berhasil punya anak.
Pertemuan
Tuan Sumerham dengan Raja Tuktung Pardosi Tempat yang dipilih Tuan Sumerham dan
Br Siregar menjadi tano tombangan mereka, ternyata masuk wilayah kekuasaan Raja
Tuktung Pardosi. Tanpa sepengetahuan Raja mereka tinggal di sana. Raja pardosi
sendiri
mengawasi kerajaannya melalui benda-benda yang hanyut pada sungai yang mengalir
di wilayahnya. Dia tidak perlu menyisir wilayah untuk mengetahui keadaan di pedalaman.
Satu ketika, Raja mengamati wilayahnya dengan emlihat yang hayut di Sungai
Sirahar. Alangkah
kagetnya Raja setelah melihat, ada potongan kayu dan jerami yang hanyut di
sungai tersebut. Dengan melihat yang hanyut itu, Raja berkesimpilan, ada
penduduk gelap yang berdsiam di wilayah kekuasaanya tanpa ada laporan. Segera
raja dan pengawalnya mencari penduduk gelap tersebut untuk dimintai keterangan
dan memberi sanksi. Bertemulah Raja Pardosi dengan Oppung kita Tuan Sumerham.
Setelah pertanyaan serta berbagai penjelasan Tuan Sumerham dan keluarga di
jatuhi sanksi “harus memberikan upeti setiap mendapatkan hasil dari pekerjaan”.
Hasil buruan, harus diberi kepala buruan kepada raja. Hasil pertanian setiap
musim panen, lebih
dahulu diberikan ke Raja baru bisa di makan oleh keluarga Tuan Sumerham. Satu
hal yang menguntungkan keluarga Tuan Sumerham, Raja tidak memberi kategori
tawanan kepada keluarga uan Sumerham. Dengan demikian Tuan Sumerham dapat berusaha
melepaskan diri dari segala sanksi.
Untuk melepaskan diri dari Upeti, (apakah karena tuntutan anaknya atau untuk
masa depan keluarganya, tentu Tuan Sumerham yang tau. Dia membuat pekerjaan
yang jitu. Sebagaimana biasa dipagi hari Tuan Sumerham pergi melihat jebakan
rusa (sambil/jorat). Dia melihat joratnya
menjebak Rusa yang sangat besar dan berbulu panjang, lalu Tuan Sumerham memberi balankon/mahkota/bulang- bulang di kepala Rusa
dengan warna Putih, Hitam dan Merah dia
atur sedemikian seolah bukan buatan manusia. dan bekas jejaknya dia rapikan
kembali, sehingga
kelihatannya belum ada yang melihat rusa tersebut dari dekat. Tempat itu sampai
sekarang disebut Panambilan (asal kata sambil atau jorat) Tuan Sumerham dengan
segera menemui Raja Tuktung Padosi dan menceritrakan Rusa tersebut, kira-kira beginilah
dialognya:
“,,,,,,,,,Yang Mulia Raja yang dihormati, mengingat perjanjian kita saya tidak
mau inkar, tetapi saya takut. Saya tidak tau apa gerangan yang akan terjadi
kelak dengan tanda-tanda hasil jebakan
yang saya dapatkan. Saya tidak berani membunuh sebelum saya tanyakan kepada
Sang
Raja. Itu sebabnya saya datang,,,,,”
“,,,,,,,Ada apa rupanya Tuan Sumerham?,,,,,,,”
“,,,,,,,Raja yang saya hormati, jebakan saya mendapatkan seekor rusa yang besar, tetapi saya takut
mendekatinya, silakan kita lihat yang mulia,,,,,,,,,,”
Berangkat lah Raja dengan panduan Tuan Sumerham ke tempat Jebakan tersebut.
Dari kejauhan Tuan Sumerham sudah menunjuk kepada rusa yang bermahkota kain
putih, hitam, dan merah. Ternyata benar yang disiasatkan Tuan Sumerham. Sang
Raja kaget melihat rusa yang bermahkota tersebut sangat menyeramkan dan
berkata;
“,,,,,,,,,
di ho ma na di ho!?. Mulai saonari, unang be lean ugut ni na ni ulam. Aha pe
boa-boa ni ursa I sahat di ho ma I, ndang sahat tu au dohot harajaonhu
I,,,,,,,,,,,,,” (artinya, kaulah yang betanggung jawab atas alamat apa yang
akan terjadi oleh rusa tersebut. Jangan lah beralamat ke saya dan kerajaan
saya. Mulai sekarang tidak usah kau laksanakan sanksi sesuai perjanjian kita.)
Sejak saat itu Tuan Sumerham dan keluarga lepas dari segala upeti kepada Raja.
Mereka bebas melakukan apa saja tanpa dibebani oleh peraturan Raja.
Raja Tuktung Pardosi, mempunyai tiga orang Putri, yang tertua mernama Nanja br
Pardosi, kedua Kirri br Pardosi, ketiga Rubi br Pardosi. Sementara Rambe Purba,
Rambe Raja Nalu, dan Rambe anak Raja sudah berajnjak dewas, demikian juga
ketiga boru Pardosi. Oleh Kuasa maha
Pencipta, mereka dipertemukan menjadi Pemuda dan Pemudi yang saling mengikat
Janji. Untuk merealisasikan janji mereka, maka Raja Tuktung memberi syarat.
Tuan Sumerham dan keluarga harus banyak/ramai menghadiri pernikahan tersebut.
Suatu hal yang sulit bagi Tuan Sumerham, mengingat kepindahanya ke Lobu Tondang
karena perlakuan Saudara tirinya yang menyakitkan. Tetapi karena sudah
merupakan syarat dari Raja, maka Tuan Sumerham memberangkatkan ketiga anaknya
untuk mengundang Saudara Tirinya dari Tano Tipang Bakkara.
Sebelum berangkat, Tuan Sumerham memberi nasehat, pesan dan petunjuk yang harus
mereka lakukan. Mereka harus selalu mengarah kepada ujung lidi (tarugi) pohon aren
yang di jepitkan pada kayudi setiap belokan. Sesampainya mereka di sana, mereka
akan di tangkap dan dipasung, kemudian pada pagi hari akan disembelih/ dibunuh.
(demikian lah ceritanya, dahulu, kalau ada orang yang tidak dikenal masuk
kampung, ditangkap dan lalu dibunuh) Pada saat di pasung, mereka harus
melantunkan lagu berulang-ulang sambil menangis. Bahasa lagunya
“mago do hape horbo namulak tu barana”,
“mago do hape takke namulak tu sokkirna”,
“mago do hape jolma namulak tu hutana”
artinya suatu hal yang tidak mungkin terjadi, apabila mata kampak kembali ke
tangkainya menjadi hilang, kerbau menjadi hilang kalau kemali kek kandang, juga
manusia menjadi hilan pabila kembali ke kampong. Tetapi itu akan terjadi pada
mereka bertiga kalau tidak menayakan
mereka anak siap. Mereka punya Namboru yang buta bernama Si Buro Aek So
Hadungdungan Tanda tanda, yang dapat mereka berikan yaitu, Ogung sarabanan
dikubur di pohon nangka silambuyak dekat rumah, Tangkai tombak dikubur di kayu
Pilar pertenghan Rumah Bolon, Sarung dari pedang, disimpan diplafon rumah bolon
(bonggar- bonggar).
Tuan Sumerham memberangkatkan anaknya yang tiga dalam kekawatiran, maka
berkali-kali dipesankan agar mereka mengikuti petunjuk dan pesan serta menjawab
pertanyaan sesuai substansinya dan tidak perlu menjawab apabila tidak ditanya.
Berangkatlah mereka bertiga dengan mengikuti lidi tarugi yang sudah ditunjukkan
Tuan Sumerham sebagai awal melangkah. Apabila mereka sudah menemukan lidi selanjutnya
mengikuti arah ujung lidi itu, sampai menemukan lagi lidi berikutnya dan
mengarah kea rah
ujung lidi tersebut. Demikian mereka menelusuri hingga sampai ke tempat tujuan.
Tibalah mereka di Tano Tipang Bakkara. Apa yang diisyaratkan Tuan Sumerham
terjadilah kepada mereka ditangkap dan dipasung ditempatkan bawah Rumah.(Dahulu
rumah batak bertiang tinggi dan dibawah sebagai kandang ternak seperti sapid an
kerbau) Pada malam hari mulailah mereka melantunkan syair yang diajari Tuan Sumerham
dengan penuh ketakutan dan menagis, terus
menerus (diandunghon), Pada tengah malam,Namborunya mendengar andung mereka
semakin di cermati semakin berdiri bulu kuduknya lalu ia menemui Saudara
tirinya yang sedang Rapat acara pembunuhan ketiga orang itu di pagi hari. Lalu
Namborunya angkat bicara.
“,,,,,,,,,,,
Hamu akka hula-hulaku, atik boha tu julu uluni na mate maup. Adong dongan tubu
mu/Abang mu na mago. Atik boha dung dipangarantoan mamoppar. Asing hubege adung
nasida. Dao-daoma jea sukkun hamu jolo nasida,,,,,” Mendengar itu, mereka pun
stop rapat dan
memperhatikan dan mencermati lantunan adung mereka bertiga. Merka pun turn dan
bertanya;
“,,,,,,,,,Siapa kalian sebenarnya?,,,,,,,,”
“,,,,,,Bagaimana kami menjawab? Sedangkan kami dalam keadaan terpasung?,,”
Maka mereka di lepaskan dan diajak naik ke rumah lalu ditanyalah seperti
layaknya Tamu terhormat.
“,,,,,,,,,,,kami adalah anak dari Tuan Sumerham,,,,,,,,”
“,,,,,,,,,Apa bukti kalau kalian anaknya,,,,,,,,,,”
“,,,,Ogung Sarabanan di kubur dekat pohon nangka silambuyak,,,,,,”
Lalu merka menggali pada malam itu juga. dan mereka menemukannya.
“,,,,,,Apalagi tanda yang dapat kamu berikan?,,,,,,,,,,”
“,,,,,,Tangkai tombak di kubur di tiang tengah/pilar tengah rumah bolon,,,,,,”
Mereka juga langsung menggali, dan menemukannya.
“,,,,,,Apalagi,,,,,,,?”
“,,,,,,,,,,Sarung pedang ada di plapon/bonggar-bonggarrumah bolon,,,,,”
Mereka cari juga ketemu. Dan apa lagi, “,,,,,,,,kalau pustaha dibawa ke
perantauan, dan ada sama bapak sekarang,,,,”
Dengan senang hati namborunya mendengar semua peristiwa itu, dalam hatinya dia
berdoa, terimakasih mula jadi nabolo hidup dan berketurunan rupanya hula-hula saya
itu. Terima kasih mula jadi nabolon, begitulah dalam hatinya. Lalu mereka
ditanya kembali.
“,,,,,,,,, Ya… kami sudah percaya, lalu apa maksud kedatangan kalian,,,,,,,?
“,,,,,,,Kami bertiga mau menikahi tiga orang putrid Raja Tuktung di panombagan
nami, tetapi raja bersyarat, kita sekeluargan harus ramai. Maka kami datang
untuk
mengundang,,,,,,,”
“,,,,,,ooOOooo, ,,kami akan datang, “marhoda-hoda bakkuang, marbonceng-bonceng
ihurna”,,,,,,,,,,,,,”
Mereka bertiga tidak mengerti arti dari kalimat tersebut, langsung mengucapkan
terima kasih dan pamit untuk pulang.
Mereka kembali mengikuti lidi tarugi untuk pulang ke Lobu Tondang. Merekapun
melaporkan hasil kunjungan mereka mengundang Saudaranya yang di Tano Tipang
Bakkara, dan memberitahukan kalimat yang diucapkan saudaranya, mendengar itu
Raja Tuktung Kaget. Karena arti dari “marhoda-hoda bakkuang……….” Artinya berperang.
Bagi
Raja Tuktung, adalah suatu tantangan sebab sudah ditentukan hari H. undangan
pun sudah berjalan tinggal pelaksanaan. Seorang tidak mungkin membatalkan acara
yang sudah dirancang, karena menyangkut harga diri raja.
Raja harus bertanggung jawab atas apa yang sudah ditetapkan. Lalu Raja Tuktung mempersiapkan
Tentaranya untuk cegah tangkal pada pesta perkawinan ketiga putrinya. Dengan
persiapan yang sudah sangat matang, semua siap pada posisi masing-masing
sebagai
pengamanan detik-detik perkawingan putrinya, Pada waktu “sagang ari” (pukul
10.00) undangan Tuan Sumerham, yaitu keluarga saudara tirinya, sudah menjelang
tempat pesta, dengan membunyikan kode perang ***
***menurut yang disejarahkan oleh para orang tua, bahwa, pada saat itu ada
usaha sekaligus untuk menghilangkan jejak atau sejarah adanya Tuan Sumerham.
Dengan tujuan sejarah Toga simamora hanya ada satu jalur sejarah, yaitu Toga
Simamora dan tiga anaknya Purba, Manalu, Debataraja. Maka dalam pemikiran
mereka, belum begitu banyak dengan hitung hitungan kekutan, bahwa Tuan Sumerham
dan keluarga dapat mereka lenyapkan dengan segera. Mereka sama sekali tidak
memperhitungkan kekuatang tentara kerajaan. Kode perang tersebut langsung
disambut oleh Tentara Kerajaan Pardosi, maka mereka yang datang dari Tipang Bakkara
(Saudara tiri red.) dengan tujuan menghilangkan jejak Tuan Sumerham, tidak
kesampaian. Maka mereka dipukul mundur tunggang langgang oleh Tentara Kerajaan,
kembali ke Tipang Bakkara dengan kegagalan, yang mengakibatkan adanya marga
Rambe sampai sekarang.
Pesta perkawinan berjalan selanjutnya, tanpa ada gangguan, maka pasangan,
pasangan pengantin adalah sebagai berikut: Rambe Toga Purba istrinya Rumbi br. Pardosi;
Rambe Raja Nalu dengan istrinya Kirri br. Pardosi; Rambe Anak Raja dengan istrinya
Nanja br. Pardosi.
Demikan lah mereka hidup berumah Tangga dengan damai, namun pikiran Tuan
Sumerham, masih bekerja untuk mendirikan parhutaan bagi ketiga anaknya. Salah satu
peluang yang dapat dimanfaatkan adalah ketiga parumaennya sebagai putri Raja yang
berkuasa di daerahnya, maka Tuan Sumerham mengumpulkan ketiga anaknya bersama
istri masing-masing. Tuan Sumerham
memaparkan nuansa pemikirannya untuk masa depan mereka, dengan keberadaan
mereka numpang hidup di kerajaan Pardosi, posisi mereka sangat lemah. Peluang untuk
kembali ke Tipang Bakkara memang masih ada namun wilayah tersebut dapat
dikatakan relative sempit.
Sedangkan wilayah kerajaan Pardosi, masih sangat luas.
,,,,,,,,,, “Lalu apa yang dapat kami perbuat ?,,,,,,,,” jawab ketiga anak dan
parumaennya.
,,,,,,,,,, “Masih ada peluang kalian mempunyai tanah yang luas, sebagai
kerajaan kita yang bakal kerajaan kalian bertiga. Asalkan kalian mau menuruti
apa yang saya suruh,,,,,,,”
,,,,,,,,, “Kami mau melaksanakannya demi terkabulnya cita- cita ayah,,,,,”
jawab mereka bertiga sepakat.
,,,,,,,,, “Pergilah kalian “marebat” ke kampung Raja, yaitu mertua kalian,
setelah satu hari menginap, biarkanlah dulu parumaenku tinggal disana, kalian
bertiga pulanglah dulu untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Bagi ketiga parumaenku
tinggallah dulu disana untuk beberapa lama, sampai ada pertanyaan dari Raja
(besan Tuan Sumerham) dan pasti akan ditanya permintaan kalian agar kembali ke keluarga
masing-masing. Nah kalian Parumaenkulah yang
mengatur, seberapa luas wilayah kerajaan kita yang kalian inginkan,,,,,,,,”
Maka mereka bertiga serta istri masing-masing pergi ke rumah Raja Tuktung
layaknya marebat” sesuai adat kebiasaan, pengantin harus melaksanakan mebat,
setelah beberapa lama menikah**). Sesuai dengan yang diskenariokan Tuan
Sumerham, maka besok harinya ketiga anaknya pulang dengan alasan kepada Raja
untuk melanjutkan kegiatan sehari-hari demi kehidupan mereka
sebagai keluarga. **) “marebat” dimaksud adalah “paulak une” dalam acara perkawinan
ulaon sadari,. adalah acara adat lanjutan setelah beberapa hari menikah. Acara
ini erat kaitannya
dengan hukum perkawinan adat batak. Acara ini menjadi kunci sebuah rumah tangga
lanjut atau cukup sampai paulak une tersebut. Bagi pihak parboru, acara ini
paling sangat dibenci, tapi harus dilaksanakan. Pembahasan tuntas pada hokum adat
perkawinan Bagi Raja Tuktung, keadaan seperti itu, merupakan hal yang biasa
pada perlakuan adat sehari-hari. Tetapi hari semakin bertambah hari, Raja mulai
gelisah, karena ketiga mantunya, belum juga datang untuk menjemput istri masing-masing,
sementara ketiga putrinya pun tidak bergeming untuk berencana pulang kembali ke
suami masing-masing. Tentu sebagai Raja yang dihormati, adalah aib baginya,
ketiga putrinya yang sudah menikah, berlama- lama di rumahnya atau kampungnya.
Hari bertambah hari, tidak ada tanda-tanda dari ketiga putrinya ingin pulang ke
Suami masing-masing. Tentu hal semacam ini membuat raja semakin pusing, maka
dari pada berlama-lama,
akhirnya Raja mengumpulkan mereka bertiga, dan bertanya kenapa mereka belum
berencana pulang ke suami masing-masing? Mereka bertiga diam tidak menjawab.
,,,,,
”apakah
kalian mempunyai kesalahan terhadap mertua atau suami kalian,,,,,,,,?” Mereka
tetap
diam tidak menjawab, sampai raja marah, mereka menyangkal tuduhan/kekhawatiran
Raja. Akhirnya raja membujuk ketiga putrinya.
,,,,,,”Apakah ada yang ingin kalian minta dari saya,,,,,,? Mereka bertiga
tersenyum, namun belum menjawab. Melihat mimik itu raja semakin yakin, kalau
mereka punya permintaan,
,,,,,,,”baiklah, saya akan memberikan apa yang kalian minta, asalkan kalian
kembali ke suami masing-masing untuk mengurus rumah tangga kalian,,,,,,,,”
Dengan serempak mereka menjawab.
,,,,,,,”Apakah janji bapak itu betul,,,,,,?
,,,,,,,,” iya,,,, akan saya penuhi, asal kalian kembali mengurus menantu saya
dan keluarga kalian,,,,,”
Lalu mereka bertiga mengajak raja ke atas bukit*) dekat rumah raja. Setelah
sampai di atas, mereka mengajukan permintaan dengan berdiri seolah membuat
lengkungan menghadap kampung raja.
*) Bukit tersebut dikenal di Pakkat bernama Gotting, dan merupakan perbatasan
Tano Rambe dengan Tukka harajaon Pardosi.
,,,,,Bapak,,,,! Inilah permintaan kami. Seluas mata memandang ke belakang kami,
berilah itu sebagai kerajaan kami, agar kami bertiga mempunyai kerajaan.,,,,,”
Sebagai seorang raja, janji atau omongannya merupakan peraturan atau
undang-undang. Maka ditetapkanlah tempat berdiri mereka sebagai perbatasan
antara Negeri Rambe (kerajaan marga Rambe yang luasnya satu kecamatan minus
kerajaan pardosi, Kerajaan Simanullang)
Maka batas kerajaan Negeri Rambe, adalah Gotting kearah Tukka Barus, Parajaran
(dulu sekarang lepas krena kelemahan rambe), Kearah Parlilitan sebelum Aek
Riman, lalu dengan Marbun aliran sungai Sisira sampai ke Sibongkare, lalu
kesijarango, Sungai Sisira masuk kerajaan Rambe, kearah Timur laut Sijarango
berbatasan dengan Simatabo, kearah Timur menyusuri lembah pegunungan Sapparungan,
Sipahutu-hutu (merupakan hulu dari Sungai
sirahar yang mengalir dari Sijarango hingga ke sigorbus), Rabba Pattil kearah
Gunung Pinapan, Simbo kearah Banuarea, Batu papan, gn Tua Jagapayung
Sirandorung kemudian menelusuri pegunungan Sampuran Sipulak dan kembali ke
Gotting. Jadi jelas merupakan wilayah yang
sangat luas menjadi satu kecamatan. Setelah ketiga anak tuan Sumerham mempunyai
anak, dan Tuan Sumerham menyadari dirinya sudah tua, perlu untuk menempatkan anak-anaknya
sebagai strategi penguasaan Teritorial ditempatkan lah Rambe Toga Purba
istrinya Rubi br. Pardosi ditempatkan di Tambok Rawang Jakhadatuon/ Batugaja
sebelah selatan Lobu Tondang dengan daerah penyebaran kearah selatan, Tenggara,
dan Barat daya.
Rambe Raja
Nalu dengan istrinya Kirri br. Pardosi ditempatkan di Rura Parira Sibambanon
sebelah Timur Lobu Tondang, dengan daerah penyebaran keturunannya Timur, Timur
Laut dan Tenggara,. Rambe Anak Raja dengan istrinya Nanja br. Pardosi
ditempatkan di Tolping
sebelah Barat Lobu Tondang dengan daerah penyebaran keturunan daerah Barat Daya
dan Barat Laut. Daerah Utara yang dibentang oleh sungai Sisira menjadi daerah panombangan
sekaligus menjadi batas bagian Utara Negeri Rambe.
Hingga
generasi ke-7 sejalan dengan kepergian keturunan Rambe Raja Nalu ke Sipionot
yang menjadi Baginda So Juangon yang menyusul bapaknya memakai marga Rambe dan
hingga di Sipiongot dan sekitarnya tetap memakai Marga Rambe. Generasi ke 8
anak dari yang menjadi
Baginda So Juangon, juga memakai marga Rambe sampai generasi ke 9 sejalan
dengan datangnya Kappung Meman Debataraja ke Sijarango, Rambe masih eksis di
Negeri Rambe, Pakkat Menurut penelusuran saya, bahwa keturunan Tuan Sumerham
sebelum masuknya rintisan jalan oleh Belanda ke seluruh daerah di sumatera
utara, masih memakai marga Rambe. Ini dibuktikan oleh
1.
Nisan marga Manik yang terdapat di Sijarango tertulis “Op.
Ganda Marimbulu Manik/br. Rambe”
2. Surat
Keterangan dari pemerintah Belanda tahun 18 sekian tertulis “Aman Sampe Rambe
marhoendoelan di Pakkat Barus Hulu”. Ternyata keturunan Aman Sampe Rambe
sekarang ini memakai marga Purba
3.
Marga Rambe sendiri yang tinggal di daerah selatan Sumatera
Utara (UtamanyaSipiongot dan Gunungtua sekitarnya) adalah keturunan Tuan
Sumerham dari Pakkat pada generasi 5 atau ke 7 pergi merantau ke sana dan bermarga
Rambe, hingga sekarang memakai marga Rambe.
Pada
zaman Pemerintahan Belanda, Tarombo Tuan Sumerham Rambe, (seperti yang telah
dibukukan sekarang ini), sebenarnya telah diperjelas dan diakui oleh Marga
Poerba, marga Manaloe dan Marga Debataradja, Pomparan ni Toga Simamora dari
istri keduanya Boru Lontung yang berdomisili di dalam dan diluar Negeri Rambe
baroes Hoeloe seperti di Dolok sanggoel, Bonandolok, Hoeta Djoeloe Manaloe,
Simamora Nabolak dll., dalam Rapat/Pertemuan yang diadakan oleh Pemerintah
Belanda Waktoe Itoe pada Tahoen 1929 di Dolok Sangoel dan tahun 1936 di
Siborong-borong.
Perlunya
Tarombo Rambe Waktoe Itoe, ialah untuk memperlakukan peraturan Pemerintah
Belanda yang menyatakan bahwa Pejabat Pemerintah Desa di Negeri Rambe Baroes
Hoeloe mulai Kepala Kampung sampai Kepala Nagari haruslah dari MARGA RAMBE,
Untuk memperjerlas itulah maknanya Tarombo Rambe dibicarakan dalam suatu Rapat
Khusus tahun 1929 dan tahun 1936.
Dalam
Rapat/Pertemuan yang diadakan tahun 1929 di DOLOK SANGGUL, dirumah RADJA POLIN
POERBA, semua hadirin yang terdiri dari utusan Pomparan NI Tuan Sumerham Rambe,
dan utusan Pomparan ni POERBA, MANALOE dan DEBATARADJA TELAH MENYETUJUI dan
MENGAKUI dan TIDAK SEORANGPUN YANG MENYANGKAL atau KEBERATAN atas SEJARAH dan
TAROMBO TUAN SUMERHAM RAMBE yang diperjelas dan diterangkan bukan oleh
keturunan Tuan Sumerham Rambe Tetapi oleh RADJA PAGADING MANALOE, RADJA PANDOEA
SISODING waktu itu.
Namun,
pada tahun 1936 kembali lagi digelar Rapat/Pertemuan serupa di KANTOR
CONTROLEUR HOOGVLAKTE VAN TOBA HET ORDERDISTRICT BOVEN HOEMBANG di
SIBORONG-BORONG. VOORZITTER waktoe itoe ialah MR. TOEAN RADJA BOENTAL
SINAMBELA, dalam rangka pemilihan dan pengangkatan RADJA-RADJA, KEPALA KAMPUNG
KEPALA NAGARI di Negeri Rambe Baroes Hoeloe. Menurut Pengaturan Pemerintah
Belanda waktu itu, mereka yang akan dicalonkan untuk JABATAN-JABATAN tersebut
di NEGERI RAMBE, harus dipilih MARGA RAMBE.
Dalam
Rapat/Pertemuan ini SEJARAH dan TAROMBOTUAN SUMERHAM RAMBE dijelaskan oleh
RADJA PANGGADING MANALOE, RADJA PANDOEA SISODING, yang isinya persis sama
dengan isi Buku ini dan Buku Sejarah dan Tarombo Tuan Sumerham Rambe, yang
disusun dan ditulis oleh T. F Rambe Purba BBA terbitan Agustus 1992. Pada Rapat
ini sengaja ditunjuk yang akan menjelaskan Sejarah dan Tarombo Tuan Sumerham
Rambe, bukanlah dari salah seorang Pomparan Ni Tuan Sumerham Rambe.
Oleh
karena KETERANGAN dan PENJELASAN yang dipaparkan oleh RADJA PAGADING MANALOE,
RADJA PANDOEA SISODING begitu jelas dan begitu lengkap dan TIDAK SEORANGPUN
MEMBANTAH terutama Para Utusan dari Pomparan ni POERBA, MANALOE dan DEBATARDJA.
Pada saat itu RADJA PAGADING MANALOE, RADJA PANDOEA SISODING menjelaskan
kembali bahwa BUKANLAH TOGA SIMAMORA dan ISTRINYA YANG PERTAMA (“TUANLAENNA”)
YANG “HOL” DAN KARENANYA PINDAH KENEGERI RAMBE, seperti kata penulis W. M.
Hulagalung pada tahun 1926. Namun yang pindah dari Tipang Bakkara, yang
akhirnya menetap di Negeri Rambe adalah TUAN SUMERHAM (putera Toga Simamora
dari istrinya yang pertama BORU SARIBUJARA/BORBOR) dengan istrinya TIOPIPIAN
BORU SIREGAR SIREGAR SILALI yang “HOL” waktu itu.
Dijelaskan
juga waktu itu bahwa BUKANLAH TOGA SIMAMORA YANG KAWIN LAGI DENGAN BORU PARDOSI
DI NEGERI RAMBE dan punya 4 (empat) putera dari Bru Pardosi yaitu : Manalu,
Debataraja, Purba, dan Tuan Sumerham (Toga Rambe), seperti kata Penulis W.M.
Hutagalung pada tahun 1926. “INI SALAH” kata RADJA PAGADING MANALOE, RADJA
PANDOEA SISODING dalam Rapat/Pertemuan tahun 1936 di Siborong-borong. Beliau
jelaskan lagi: “setelah pindah dari Tipang Bakkara, maka akhirnya Tuan Sumerham
dan Tiopipian Br. Siregar Silali setelah menetap di HUTATONDANG Negeri Rambe,
disanalah dia menjadi “Gabe”, punya 3 (tiga) PUTERA yang diberikan nama MIRIP
nama adik-adik Tuan Sumerham yang di Tipang Bakkara
Kata
Mirip disini artinya tidak serupa Yaitu ;
1)
RAMBE TOGA PURBA
2)
RAMBE RAJA NALU dan
3)
RAMBE ANAK RAJA
Mereka
bertiga inilah yang kawin dengan 3 (tiga) BORU PARDOSI, kakak beradik.
Disamping ketiga puteranya, Tuan Sumerham juga punya seorang puteri yaitu
SURTAMULIA yang kawin dengan Marga PASARIBU BONDAR dsan menempati suatu daerah
pemberian Tuan Sumerham Rambe sebagai “PAUSEANG” yang sekarang ini daerah itu
dinamai PEADUNGDUNG, SIRANDONG, Pakkat Tapanuli Utara”.
Oleh
karena penjelasan yang begitu lengkap dan semua peserta rapat/Pertemuan SETUJU
dan TIDAK SEORANGPUN YANG MENYALAHKAN, VOORZITTER waktoe itoe ialah MR. TOEAN
RADJA BOENTAL SINAMBELA.
SIAPA
BAGINDA SOJUANGON
Setelah
raja baginda Sojuangon wafat, Beliau digantikan oleh putranya bungsunya menjadi
Raja di Hutaimbaru sedangkan anak-anaknya yang lain menjadi Raja daerah-daerah
yang sebelumnya diberikan Ayahanda mereka kepada mereka masing-masing sebagai
daerah otonom.
Raja
Baginda Raja Sojuangon dimakamkan di Aek Pisang, Sipiongot dan disisi
kanan-kirinya dimakamkan kedua istrinya. Pomparan Raja Baginda Raja Sojuangan
saat ini telah tersebar di mana-mana untuk berjuang menjelang hari esok yang
lebih baik.
Beberapa orang parumaen Rambe yang lama tidak mempunyai keturunan, dengan hati
yang tulus dan tekat yang murni, pergi ke Lobu Tondang untuk memakan buah Rambe,
ternyata menjadi punya anak. Ketulusan dan kemurnian tekad serta tidak ada rasa
ego dan serakah, akan membuahkan hasil. Ini dibuktikan dua orang paniaran rambe
salah satu parumaen Rambe yang
serakah, didorong oleh keinginan yang kuat, sehingga dia berpikir biarlah saya
yang berhasil, yang lain tidak perduli, maka dia gagal mempunyai keturunan.
Karena pada saat itu ada bersama dia juga parumaen Rambe, hampir tidak kebagian
dibuat yang bersikap serakah tersebut. Dan
memangis di pohon rambe tersebut. Karena seseorang kasihan, maka sebiji rambe
yang dia pegang dengan maksud untuk dimakan, akhirnya diberikan kepada yang menangis.
Ternyata dia yang berhasil punya anak.
Pertemuan
Tuan Sumerham dengan Raja Tuktung Pardosi Tempat yang dipilih Tuan Sumerham dan
Br Siregar menjadi tano tombangan mereka, ternyata masuk wilayah kekuasaan Raja
Tuktung Pardosi. Tanpa sepengetahuan Raja mereka tinggal di sana. Raja pardosi
sendiri
mengawasi kerajaannya melalui benda-benda yang hanyut pada sungai yang mengalir
di wilayahnya. Dia tidak perlu menyisir wilayah untuk mengetahui keadaan di pedalaman.
Satu ketika, Raja mengamati wilayahnya dengan emlihat yang hayut di Sungai
Sirahar.
Alangkah kagetnya Raja setelah melihat, ada potongan kayu dan jerami yang hanyut di
sungai tersebut. Dengan melihat yang hanyut itu, Raja berkesimpilan, ada
penduduk gelap yang berdsiam di wilayah kekuasaanya tanpa ada laporan. Segera
raja dan pengawalnya mencari penduduk gelap tersebut untuk dimintai keterangan
dan memberi sanksi. Bertemulah Raja Pardosi dengan Oppung kita Tuan Sumerham.
Setelah pertanyaan serta berbagai penjelasan Tuan Sumerham dan keluarga di
jatuhi sanksi “harus memberikan upeti setiap mendapatkan hasil dari pekerjaan”.
Hasil buruan, harus diberi kepala buruan kepada raja. Hasil pertanian setiap
musim panen, lebih
dahulu diberikan ke Raja baru bisa di makan oleh keluarga Tuan Sumerham. Satu
hal yang menguntungkan keluarga Tuan Sumerham, Raja tidak memberi kategori
tawanan kepada keluarga uan Sumerham. Dengan demikian Tuan Sumerham dapat berusaha
melepaskan diri dari segala sanksi.
Untuk melepaskan diri dari Upeti, (apakah karena tuntutan anaknya atau untuk
masa depan keluarganya, tentu Tuan Sumerham yang tau. Dia membuat pekerjaan
yang jitu. Sebagaimana biasa dipagi hari Tuan Sumerham pergi melihat jebakan
rusa (sambil/jorat). Dia melihat joratnya
menjebak Rusa yang sangat besar dan berbulu panjang, lalu Tuan Sumerham memberi balankon/mahkota/bulang- bulang di kepala Rusa
dengan warna Putih, Hitam dan Merah dia
atur sedemikian seolah bukan buatan manusia. dan bekas jejaknya dia rapikan
kembali, sehingga
kelihatannya belum ada yang melihat rusa tersebut dari dekat. Tempat itu sampai
sekarang disebut Panambilan (asal kata sambil atau jorat) Tuan Sumerham dengan
segera menemui Raja Tuktung Padosi dan menceritrakan Rusa tersebut, kira-kira beginilah
dialognya:
“,,,,,,,,,Yang Mulia Raja yang dihormati, mengingat perjanjian kita saya tidak
mau inkar, tetapi saya takut. Saya tidak tau apa gerangan yang akan terjadi
kelak dengan tanda-tanda hasil jebakan
yang saya dapatkan. Saya tidak berani membunuh sebelum saya tanyakan kepada
Sang
Raja. Itu sebabnya saya datang,,,,,”
“,,,,,,,Ada apa rupanya Tuan Sumerham?,,,,,,,”
“,,,,,,,Raja yang saya hormati, jebakan saya mendapatkan seekor rusa yang besar, tetapi saya takut
mendekatinya, silakan kita lihat yang mulia,,,,,,,,,,”
Berangkat lah Raja dengan panduan Tuan Sumerham ke tempat Jebakan tersebut.
Dari kejauhan Tuan Sumerham sudah menunjuk kepada rusa yang bermahkota kain
putih, hitam, dan merah. Ternyata benar yang disiasatkan Tuan Sumerham. Sang
Raja kaget melihat rusa yang bermahkota tersebut sangat menyeramkan dan
berkata;
“,,,,,,,,,
di ho ma na di ho!?. Mulai saonari, unang be lean ugut ni na ni ulam. Aha pe
boa-boa ni ursa I sahat di ho ma I, ndang sahat tu au dohot harajaonhu
I,,,,,,,,,,,,,” (artinya, kaulah yang betanggung jawab atas alamat apa yang
akan terjadi oleh rusa tersebut. Jangan lah beralamat ke saya dan kerajaan
saya. Mulai sekarang tidak usah kau laksanakan sanksi sesuai perjanjian kita.)
Sejak saat itu Tuan Sumerham dan keluarga lepas dari segala upeti kepada Raja.
Mereka bebas melakukan apa saja tanpa dibebani oleh peraturan Raja.
Raja Tuktung Pardosi, mempunyai tiga orang Putri, yang tertua mernama Nanja br
Pardosi, kedua Kirri br Pardosi, ketiga Rubi br Pardosi. Sementara Rambe Purba,
Rambe Raja Nalu, dan Rambe anak Raja sudah berajnjak dewas, demikian juga
ketiga boru Pardosi. Oleh Kuasa maha
Pencipta, mereka dipertemukan menjadi Pemuda dan Pemudi yang saling mengikat
Janji. Untuk merealisasikan janji mereka, maka Raja Tuktung memberi syarat.
Tuan Sumerham dan keluarga harus banyak/ramai menghadiri pernikahan tersebut.
Suatu hal yang sulit bagi Tuan Sumerham, mengingat kepindahanya ke Lobu Tondang
karena perlakuan Saudara tirinya yang menyakitkan. Tetapi karena sudah
merupakan syarat dari Raja, maka Tuan Sumerham memberangkatkan ketiga anaknya
untuk mengundang Saudara Tirinya dari Tano Tipang Bakkara.
Sebelum berangkat, Tuan Sumerham memberi nasehat, pesan dan petunjuk yang harus
mereka lakukan. Mereka harus selalu mengarah kepada ujung lidi (tarugi) pohon aren
yang di jepitkan pada kayudi setiap belokan. Sesampainya mereka di sana, mereka
akan di tangkap dan dipasung, kemudian pada pagi hari akan disembelih/ dibunuh.
(demikian lah ceritanya, dahulu, kalau ada orang yang tidak dikenal masuk
kampung, ditangkap dan lalu dibunuh) Pada saat di pasung, mereka harus
melantunkan lagu berulang-ulang sambil menangis. Bahasa lagunya
“mago do hape horbo namulak tu barana”,
“mago do hape takke namulak tu sokkirna”,
“mago do hape jolma namulak tu hutana”
artinya suatu hal yang tidak mungkin terjadi, apabila mata kampak kembali ke
tangkainya menjadi hilang, kerbau menjadi hilang kalau kemali kek kandang, juga
manusia menjadi hilan pabila kembali ke kampong. Tetapi itu akan terjadi pada
mereka bertiga kalau tidak menayakan
mereka anak siap. Mereka punya Namboru yang buta bernama Si Buro Aek So
Hadungdungan Tanda tanda, yang dapat mereka berikan yaitu, Ogung sarabanan
dikubur di pohon nangka silambuyak dekat rumah, Tangkai tombak dikubur di kayu
Pilar pertenghan Rumah Bolon, Sarung dari pedang, disimpan diplafon rumah bolon
(bonggar- bonggar).
Tuan Sumerham memberangkatkan anaknya yang tiga dalam kekawatiran, maka
berkali-kali dipesankan agar mereka mengikuti petunjuk dan pesan serta menjawab
pertanyaan sesuai substansinya dan tidak perlu menjawab apabila tidak ditanya.
Berangkatlah mereka bertiga dengan mengikuti lidi tarugi yang sudah ditunjukkan
Tuan Sumerham sebagai awal melangkah. Apabila mereka sudah menemukan lidi selanjutnya
mengikuti arah ujung lidi itu, sampai menemukan lagi lidi berikutnya dan
mengarah kea rah ujung lidi tersebut. Demikian mereka menelusuri hingga sampai ke tempat tujuan.
Tibalah mereka di Tano Tipang Bakkara. Apa yang diisyaratkan Tuan Sumerham
terjadilah kepada mereka ditangkap dan dipasung ditempatkan bawah Rumah.(Dahulu
rumah batak bertiang tinggi dan dibawah sebagai kandang ternak seperti sapid an
kerbau) Pada malam hari mulailah mereka melantunkan syair yang diajari Tuan Sumerham
dengan penuh ketakutan dan menagis, terus
menerus (diandunghon), Pada tengah malam,Namborunya mendengar andung mereka
semakin di cermati semakin berdiri bulu kuduknya lalu ia menemui Saudara
tirinya yang sedang Rapat acara pembunuhan ketiga orang itu di pagi hari. Lalu
Namborunya angkat bicara.
“,,,,,,,,,,,
Hamu akka hula-hulaku, atik boha tu julu uluni na mate maup. Adong dongan tubu
mu/Abang mu na mago. Atik boha dung dipangarantoan mamoppar. Asing hubege adung
nasida. Dao-daoma jea sukkun hamu jolo nasida,,,,,” Mendengar itu, mereka pun
stop rapat dan
memperhatikan dan mencermati lantunan adung mereka bertiga. Merka pun turn dan
bertanya;
“,,,,,,,,,Siapa kalian sebenarnya?,,,,,,,,”
“,,,,,,Bagaimana kami menjawab? Sedangkan kami dalam keadaan terpasung?,,”
Maka mereka di lepaskan dan diajak naik ke rumah lalu ditanyalah seperti
layaknya Tamu terhormat.
“,,,,,,,,,,,kami adalah anak dari Tuan Sumerham,,,,,,,,”
“,,,,,,,,,Apa bukti kalau kalian anaknya,,,,,,,,,,”
“,,,,Ogung Sarabanan di kubur dekat pohon nangka silambuyak,,,,,,”
Lalu merka menggali pada malam itu juga. dan mereka menemukannya.
“,,,,,,Apalagi tanda yang dapat kamu berikan?,,,,,,,,,,”
“,,,,,,Tangkai tombak di kubur di tiang tengah/pilar tengah rumah bolon,,,,,,”
Mereka juga langsung menggali, dan menemukannya.
“,,,,,,Apalagi,,,,,,,?”
“,,,,,,,,,,Sarung pedang ada di plapon/bonggar-bonggarrumah bolon,,,,,”
Mereka cari juga ketemu. Dan apa lagi, “,,,,,,,,kalau pustaha dibawa ke
perantauan, dan ada sama bapak sekarang,,,,”
Dengan senang hati namborunya mendengar semua peristiwa itu, dalam hatinya dia
berdoa, terimakasih mula jadi nabolo hidup dan berketurunan rupanya hula-hula saya
itu. Terima kasih mula jadi nabolon, begitulah dalam hatinya. Lalu mereka
ditanya kembali.
“,,,,,,,,, Ya… kami sudah percaya, lalu apa maksud kedatangan kalian,,,,,,,?
“,,,,,,,Kami bertiga mau menikahi tiga orang putrid Raja Tuktung di panombagan
nami, tetapi raja bersyarat, kita sekeluargan harus ramai. Maka kami datang
untuk
mengundang,,,,,,,”
“,,,,,,ooOOooo, ,,kami akan datang, “marhoda-hoda bakkuang, marbonceng-bonceng
ihurna”,,,,,,,,,,,,,”
Mereka bertiga tidak mengerti arti dari kalimat tersebut, langsung mengucapkan
terima kasih dan pamit untuk pulang.
Mereka kembali mengikuti lidi tarugi untuk pulang ke Lobu Tondang. Merekapun
melaporkan hasil kunjungan mereka mengundang Saudaranya yang di Tano Tipang
Bakkara, dan memberitahukan kalimat yang diucapkan saudaranya, mendengar itu
Raja Tuktung Kaget. Karena arti dari “marhoda-hoda bakkuang……….” Artinya berperang.
Bagi
Raja Tuktung, adalah suatu tantangan sebab sudah ditentukan hari H. undangan
pun sudah berjalan tinggal pelaksanaan. Seorang tidak mungkin membatalkan acara
yang sudah dirancang, karena menyangkut harga diri raja.
Raja harus bertanggung jawab atas apa yang sudah ditetapkan. Lalu Raja Tuktung mempersiapkan
Tentaranya untuk cegah tangkal pada pesta perkawinan ketiga putrinya. Dengan
persiapan yang sudah sangat matang, semua siap pada posisi masing-masing
sebagai
pengamanan detik-detik perkawingan putrinya, Pada waktu “sagang ari” (pukul
10.00) undangan Tuan Sumerham, yaitu keluarga saudara tirinya, sudah menjelang
tempat pesta, dengan membunyikan kode perang ***
***menurut yang disejarahkan oleh para orang tua, bahwa, pada saat itu ada
usaha sekaligus untuk menghilangkan jejak atau sejarah adanya Tuan Sumerham.
Dengan tujuan sejarah Toga simamora hanya ada satu jalur sejarah, yaitu Toga
Simamora dan tiga anaknya Purba, Manalu, Debataraja. Maka dalam pemikiran
mereka, belum begitu banyak dengan hitung hitungan kekutan, bahwa Tuan Sumerham
dan keluarga dapat mereka lenyapkan dengan segera. Mereka sama sekali tidak
memperhitungkan kekuatang tentara kerajaan. Kode perang tersebut langsung
disambut oleh Tentara Kerajaan Pardosi, maka mereka yang datang dari Tipang Bakkara
(Saudara tiri red.) dengan tujuan menghilangkan jejak Tuan Sumerham, tidak
kesampaian. Maka mereka dipukul mundur tunggang langgang oleh Tentara Kerajaan,
kembali ke Tipang Bakkara dengan kegagalan, yang mengakibatkan adanya marga
Rambe sampai sekarang.
Pesta perkawinan berjalan selanjutnya, tanpa ada gangguan, maka pasangan,
pasangan pengantin adalah sebagai berikut: Rambe Toga Purba istrinya Rumbi br. Pardosi;
Rambe Raja Nalu dengan istrinya Kirri br. Pardosi; Rambe Anak Raja dengan istrinya
Nanja br. Pardosi.
Demikan lah mereka hidup berumah Tangga dengan damai, namun pikiran Tuan
Sumerham, masih bekerja untuk mendirikan parhutaan bagi ketiga anaknya. Salah satu
peluang yang dapat dimanfaatkan adalah ketiga parumaennya sebagai putri Raja yang
berkuasa di daerahnya, maka Tuan Sumerham mengumpulkan ketiga anaknya bersama
istri masing-masing. Tuan Sumerham
memaparkan nuansa pemikirannya untuk masa depan mereka, dengan keberadaan
mereka numpang hidup di kerajaan Pardosi, posisi mereka sangat lemah. Peluang untuk
kembali ke Tipang Bakkara memang masih ada namun wilayah tersebut dapat
dikatakan relative sempit.
Sedangkan wilayah kerajaan Pardosi, masih sangat luas.
,,,,,,,,,, “Lalu apa yang dapat kami perbuat ?,,,,,,,,” jawab ketiga anak dan
parumaennya.
,,,,,,,,,, “Masih ada peluang kalian mempunyai tanah yang luas, sebagai
kerajaan kita yang bakal kerajaan kalian bertiga. Asalkan kalian mau menuruti
apa yang saya suruh,,,,,,,”
,,,,,,,,, “Kami mau melaksanakannya demi terkabulnya cita- cita ayah,,,,,”
jawab mereka bertiga sepakat.
,,,,,,,,, “Pergilah kalian “marebat” ke kampung Raja, yaitu mertua kalian,
setelah satu hari menginap, biarkanlah dulu parumaenku tinggal disana, kalian
bertiga pulanglah dulu untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Bagi ketiga parumaenku
tinggallah dulu disana untuk beberapa lama, sampai ada pertanyaan dari Raja
(besan Tuan Sumerham) dan pasti akan ditanya permintaan kalian agar kembali ke keluarga
masing-masing. Nah kalian Parumaenkulah yang
mengatur, seberapa luas wilayah kerajaan kita yang kalian inginkan,,,,,,,,”
Maka mereka bertiga serta istri masing-masing pergi ke rumah Raja Tuktung
layaknya marebat” sesuai adat kebiasaan, pengantin harus melaksanakan mebat,
setelah beberapa lama menikah**). Sesuai dengan yang diskenariokan Tuan
Sumerham, maka besok harinya ketiga anaknya pulang dengan alasan kepada Raja
untuk melanjutkan kegiatan sehari-hari demi kehidupan mereka
sebagai keluarga. **) “marebat” dimaksud adalah “paulak une” dalam acara perkawinan
ulaon sadari,. adalah acara adat lanjutan setelah beberapa hari menikah. Acara
ini erat kaitannya
dengan hukum perkawinan adat batak. Acara ini menjadi kunci sebuah rumah tangga
lanjut atau cukup sampai paulak une tersebut. Bagi pihak parboru, acara ini
paling sangat dibenci, tapi harus dilaksanakan. Pembahasan tuntas pada hokum adat
perkawinan Bagi Raja Tuktung, keadaan seperti itu, merupakan hal yang biasa
pada perlakuan adat sehari-hari. Tetapi hari semakin bertambah hari, Raja mulai
gelisah, karena ketiga mantunya, belum juga datang untuk menjemput istri masing-masing,
sementara ketiga putrinya pun tidak bergeming untuk berencana pulang kembali ke
suami masing-masing. Tentu sebagai Raja yang dihormati, adalah aib baginya,
ketiga putrinya yang sudah menikah, berlama- lama di rumahnya atau kampungnya.
Hari bertambah hari, tidak ada tanda-tanda dari ketiga putrinya ingin pulang ke
Suami masing-masing. Tentu hal semacam ini membuat raja semakin pusing, maka
dari pada berlama-lama,
akhirnya Raja mengumpulkan mereka bertiga, dan bertanya kenapa mereka belum
berencana pulang ke suami masing-masing? Mereka bertiga diam tidak menjawab.
,,,,,
”apakah
kalian mempunyai kesalahan terhadap mertua atau suami kalian,,,,,,,,?” Mereka
tetap
diam tidak menjawab, sampai raja marah, mereka menyangkal tuduhan/kekhawatiran
Raja. Akhirnya raja membujuk ketiga putrinya.
,,,,,,”Apakah ada yang ingin kalian minta dari saya,,,,,,? Mereka bertiga
tersenyum, namun belum menjawab. Melihat mimik itu raja semakin yakin, kalau
mereka punya permintaan,
,,,,,,,”baiklah, saya akan memberikan apa yang kalian minta, asalkan kalian
kembali ke suami masing-masing untuk mengurus rumah tangga kalian,,,,,,,,”
Dengan serempak mereka menjawab.
,,,,,,,”Apakah janji bapak itu betul,,,,,,?
,,,,,,,,” iya,,,, akan saya penuhi, asal kalian kembali mengurus menantu saya
dan keluarga kalian,,,,,”
Lalu mereka bertiga mengajak raja ke atas bukit*) dekat rumah raja. Setelah
sampai di atas, mereka mengajukan permintaan dengan berdiri seolah membuat
lengkungan menghadap kampung raja.
*) Bukit tersebut dikenal di Pakkat bernama Gotting, dan merupakan perbatasan
Tano Rambe dengan Tukka harajaon Pardosi.
,,,,,Bapak,,,,! Inilah permintaan kami. Seluas mata memandang ke belakang kami,
berilah itu sebagai kerajaan kami, agar kami bertiga mempunyai kerajaan.,,,,,”
Sebagai seorang raja, janji atau omongannya merupakan peraturan atau
undang-undang. Maka ditetapkanlah tempat berdiri mereka sebagai perbatasan
antara Negeri Rambe (kerajaan marga Rambe yang luasnya satu kecamatan minus
kerajaan pardosi, Kerajaan Simanullang)
Maka batas kerajaan Negeri Rambe, adalah Gotting kearah Tukka Barus, Parajaran
(dulu sekarang lepas krena kelemahan rambe), Kearah Parlilitan sebelum Aek
Riman, lalu dengan Marbun aliran sungai Sisira sampai ke Sibongkare, lalu
kesijarango, Sungai Sisira masuk kerajaan Rambe, kearah Timur laut Sijarango
berbatasan dengan Simatabo, kearah Timur menyusuri lembah pegunungan Sapparungan,
Sipahutu-hutu (merupakan hulu dari Sungai
sirahar yang mengalir dari Sijarango hingga ke sigorbus), Rabba Pattil kearah
Gunung Pinapan, Simbo kearah Banuarea, Batu papan, gn Tua Jagapayung
Sirandorung kemudian menelusuri pegunungan Sampuran Sipulak dan kembali ke
Gotting. Jadi jelas merupakan wilayah yang
sangat luas menjadi satu kecamatan. Setelah ketiga anak tuan Sumerham mempunyai
anak, dan Tuan Sumerham menyadari dirinya sudah tua, perlu untuk menempatkan anak-anaknya
sebagai strategi penguasaan Teritorial ditempatkan lah Rambe Toga Purba
istrinya Rubi br. Pardosi ditempatkan di Tambok Rawang Jakhadatuon/ Batugaja
sebelah selatan Lobu Tondang dengan daerah penyebaran kearah selatan, Tenggara,
dan Barat daya.
Rambe Raja
Nalu dengan istrinya Kirri br. Pardosi ditempatkan di Rura Parira Sibambanon
sebelah Timur Lobu Tondang, dengan daerah penyebaran keturunannya Timur, Timur
Laut dan Tenggara,. Rambe Anak Raja dengan istrinya Nanja br. Pardosi
ditempatkan di Tolping
sebelah Barat Lobu Tondang dengan daerah penyebaran keturunan daerah Barat Daya
dan Barat Laut. Daerah Utara yang dibentang oleh sungai Sisira menjadi daerah panombangan
sekaligus menjadi batas bagian Utara Negeri Rambe.
Hingga
generasi ke-7 sejalan dengan kepergian keturunan Rambe Raja Nalu ke Sipionot
yang menjadi Baginda So Juangon yang menyusul bapaknya memakai marga Rambe dan
hingga di Sipiongot dan sekitarnya tetap memakai Marga Rambe. Generasi ke 8
anak dari yang menjadi
Baginda So Juangon, juga memakai marga Rambe sampai generasi ke 9 sejalan
dengan datangnya Kappung Meman Debataraja ke Sijarango, Rambe masih eksis di
Negeri Rambe, Pakkat Menurut penelusuran saya, bahwa keturunan Tuan Sumerham
sebelum masuknya rintisan jalan oleh Belanda ke seluruh daerah di sumatera
utara, masih memakai marga Rambe. Ini dibuktikan oleh
1.
Nisan marga Manik yang terdapat di Sijarango tertulis “Op.
Ganda Marimbulu Manik/br. Rambe”
2. Surat
Keterangan dari pemerintah Belanda tahun 18 sekian tertulis “Aman Sampe Rambe
marhoendoelan di Pakkat Barus Hulu”. Ternyata keturunan Aman Sampe Rambe
sekarang ini memakai marga Purba
3.
Marga Rambe sendiri yang tinggal di daerah selatan Sumatera
Utara (UtamanyaSipiongot dan Gunungtua sekitarnya) adalah keturunan Tuan
Sumerham dari Pakkat pada generasi 5 atau ke 7 pergi merantau ke sana dan bermarga
Rambe, hingga sekarang memakai marga Rambe.
Pada
zaman Pemerintahan Belanda, Tarombo Tuan Sumerham Rambe, (seperti yang telah
dibukukan sekarang ini), sebenarnya telah diperjelas dan diakui oleh Marga
Poerba, marga Manaloe dan Marga Debataradja, Pomparan ni Toga Simamora dari
istri keduanya Boru Lontung yang berdomisili di dalam dan diluar Negeri Rambe
baroes Hoeloe seperti di Dolok sanggoel, Bonandolok, Hoeta Djoeloe Manaloe,
Simamora Nabolak dll., dalam Rapat/Pertemuan yang diadakan oleh Pemerintah
Belanda Waktoe Itoe pada Tahoen 1929 di Dolok Sangoel dan tahun 1936 di
Siborong-borong.
Perlunya
Tarombo Rambe Waktoe Itoe, ialah untuk memperlakukan peraturan Pemerintah
Belanda yang menyatakan bahwa Pejabat Pemerintah Desa di Negeri Rambe Baroes
Hoeloe mulai Kepala Kampung sampai Kepala Nagari haruslah dari MARGA RAMBE,
Untuk memperjerlas itulah maknanya Tarombo Rambe dibicarakan dalam suatu Rapat
Khusus tahun 1929 dan tahun 1936.
Dalam
Rapat/Pertemuan yang diadakan tahun 1929 di DOLOK SANGGUL, dirumah RADJA POLIN
POERBA, semua hadirin yang terdiri dari utusan Pomparan NI Tuan Sumerham Rambe,
dan utusan Pomparan ni POERBA, MANALOE dan DEBATARADJA TELAH MENYETUJUI dan
MENGAKUI dan TIDAK SEORANGPUN YANG MENYANGKAL atau KEBERATAN atas SEJARAH dan
TAROMBO TUAN SUMERHAM RAMBE yang diperjelas dan diterangkan bukan oleh
keturunan Tuan Sumerham Rambe Tetapi oleh RADJA PAGADING MANALOE, RADJA PANDOEA
SISODING waktu itu.
Namun,
pada tahun 1936 kembali lagi digelar Rapat/Pertemuan serupa di KANTOR
CONTROLEUR HOOGVLAKTE VAN TOBA HET ORDERDISTRICT BOVEN HOEMBANG di
SIBORONG-BORONG. VOORZITTER waktoe itoe ialah MR. TOEAN RADJA BOENTAL
SINAMBELA, dalam rangka pemilihan dan pengangkatan RADJA-RADJA, KEPALA KAMPUNG
KEPALA NAGARI di Negeri Rambe Baroes Hoeloe. Menurut Pengaturan Pemerintah
Belanda waktu itu, mereka yang akan dicalonkan untuk JABATAN-JABATAN tersebut
di NEGERI RAMBE, harus dipilih MARGA RAMBE.
Dalam
Rapat/Pertemuan ini SEJARAH dan TAROMBOTUAN SUMERHAM RAMBE dijelaskan oleh
RADJA PANGGADING MANALOE, RADJA PANDOEA SISODING, yang isinya persis sama
dengan isi Buku ini dan Buku Sejarah dan Tarombo Tuan Sumerham Rambe, yang
disusun dan ditulis oleh T. F Rambe Purba BBA terbitan Agustus 1992. Pada Rapat
ini sengaja ditunjuk yang akan menjelaskan Sejarah dan Tarombo Tuan Sumerham
Rambe, bukanlah dari salah seorang Pomparan Ni Tuan Sumerham Rambe.
Oleh
karena KETERANGAN dan PENJELASAN yang dipaparkan oleh RADJA PAGADING MANALOE,
RADJA PANDOEA SISODING begitu jelas dan begitu lengkap dan TIDAK SEORANGPUN
MEMBANTAH terutama Para Utusan dari Pomparan ni POERBA, MANALOE dan DEBATARDJA.
Pada saat itu RADJA PAGADING MANALOE, RADJA PANDOEA SISODING menjelaskan
kembali bahwa BUKANLAH TOGA SIMAMORA dan ISTRINYA YANG PERTAMA (“TUANLAENNA”)
YANG “HOL” DAN KARENANYA PINDAH KENEGERI RAMBE, seperti kata penulis W. M.
Hulagalung pada tahun 1926. Namun yang pindah dari Tipang Bakkara, yang
akhirnya menetap di Negeri Rambe adalah TUAN SUMERHAM (putera Toga Simamora
dari istrinya yang pertama BORU SARIBUJARA/BORBOR) dengan istrinya TIOPIPIAN
BORU SIREGAR SIREGAR SILALI yang “HOL” waktu itu.
Dijelaskan
juga waktu itu bahwa BUKANLAH TOGA SIMAMORA YANG KAWIN LAGI DENGAN BORU PARDOSI
DI NEGERI RAMBE dan punya 4 (empat) putera dari Bru Pardosi yaitu : Manalu,
Debataraja, Purba, dan Tuan Sumerham (Toga Rambe), seperti kata Penulis W.M.
Hutagalung pada tahun 1926. “INI SALAH” kata RADJA PAGADING MANALOE, RADJA
PANDOEA SISODING dalam Rapat/Pertemuan tahun 1936 di Siborong-borong. Beliau
jelaskan lagi: “setelah pindah dari Tipang Bakkara, maka akhirnya Tuan Sumerham
dan Tiopipian Br. Siregar Silali setelah menetap di HUTATONDANG Negeri Rambe,
disanalah dia menjadi “Gabe”, punya 3 (tiga) PUTERA yang diberikan nama MIRIP
nama adik-adik Tuan Sumerham yang di Tipang Bakkara
Kata
Mirip disini artinya tidak serupa Yaitu ;
1)
RAMBE TOGA PURBA
2)
RAMBE RAJA NALU dan
3)
RAMBE ANAK RAJA
Mereka
bertiga inilah yang kawin dengan 3 (tiga) BORU PARDOSI, kakak beradik.
Disamping ketiga puteranya, Tuan Sumerham juga punya seorang puteri yaitu
SURTAMULIA yang kawin dengan Marga PASARIBU BONDAR dsan menempati suatu daerah
pemberian Tuan Sumerham Rambe sebagai “PAUSEANG” yang sekarang ini daerah itu
dinamai PEADUNGDUNG, SIRANDONG, Pakkat Tapanuli Utara”.
Oleh
karena penjelasan yang begitu lengkap dan semua peserta rapat/Pertemuan SETUJU
dan TIDAK SEORANGPUN YANG MENYALAHKAN, VOORZITTER waktoe itoe ialah MR. TOEAN
RADJA BOENTAL SINAMBELA.
SIAPA
BAGINDA SOJUANGON
Setelah
raja baginda Sojuangon wafat, Beliau digantikan oleh putranya bungsunya menjadi
Raja di Hutaimbaru sedangkan anak-anaknya yang lain menjadi Raja daerah-daerah
yang sebelumnya diberikan Ayahanda mereka kepada mereka masing-masing sebagai
daerah otonom.
Ketika
sesama suku Batak bertemu kemudian berkenalan, maka yang paling utama yang
harus diketahui adalah marga. bukan tanpa alasan, menanyakan marga adalah suatu
bentuk perkenalan orang Batak untuk mengetahui panggilan yang harus dihaturkan
sebagai wujud dari melek adat. Apakah Hula-hula, Boru atau Dongan Tubu.
Walaupun mereka memiliki marga yang berbeda bisa saja ditarik persaudaraan dari
banyak pihak, seperti pihak ibu, ipar, sepupu bahkan tetangga. Untuk
mengetahui panggilan apa yang harus disematkan, maka seorang anak suku batak
harus tahu yang namanya tarombo, bukan hanya masalah nomor keturunan, tapi juga
marga apa saja yang menjadi dongan tubu, padan, hula hula atau boru.
Sama
dengan pengalaman yang pernah dialami penulis, dimana banyak orang bingung
dengan marga yang disandangnya kala berkenalan dengan orang batak dari wilayah
berbeda. ketika penulis menggunakan marga Rambe, banyak orang yang tidak
mengenal. tapi ketika disebut Simamora semua orang langsung tahu. pertanyaannya
adalah apakah Simamora itu sama dengan Rambe?
Untuk
mengetahui hubungan kedua marga ini, perlu kita menelusuri silsilah Tuan
Sumerham, yang menjadi asal mula adanya marga Rambe.
Sebagai
ringkasan Sejarah dan Tarombo Tuan Sumerham dari data-data yang telah
didapatkan oleh suatu Team Khusus, maka kita biasa ringkaskan sebagai berikut :
Toga
Sumbara, generasi ke 6 dari Si Raja Batak, mempunyai dua putera yang dinamakan
Toga Simamora dan Toga Sihombing. Toga Simamora menikah dengan Boru saribu
Raja/ Borbor dan menetap di Tipang Bakkara, tepi Danau Toba. Dari perkawinan
tersebut Toga Simamora mempunyai dua anak, satu putera dan satu puteri. Sang
putera dinamai Tuan Sumerham dan puterinya yang buta sejak lahir diberi nama
Boru Aek So Hadungdungan. sementara adik Toga Simamora, Toga Sihombing menikah
dengan Boru Lontung dan mempunyai empat putera, yaitu:SILABAN, LUMBANTORUAN,
NABABAN dan HUTASOIT.
Suatu
ketika, Toga Sihombing meninggal. Sebagai adat kebiasaan Batak waktu itu, maka
sang istri yang ditinggalkan akan dinikahkan dengan saudara (bisa kakak maupun
adik) yang meninggal. hal ini kemungkinan disebabkan karena sang istri telah
dianggap hak milik keluarga si pria lantaran telah dinikahi dengan memberi sinamot
kepada pihak keluarga si wanita. maka Toga Simamora menikahi si Boru Lontung
(Mangabia) dan memiliki tiga anak yaitu: PURBA, MANALU
dan DEBATARAJA.
Dengan
demikian TOGA SIMAMORA mempunyai 4 (empat) putera BUKAN 3 (TIGA), yaitu :
1. TUAN SUMERHAM
2. PURBA
3. MANALU dan
4. DEBATARAJA
Jadi
TUAN SUMERHAM, PURBA, MANALU DAN DEBATARAJA adalah empat bersaudara satu bapak
dan dua ibu.Orang Batak bilang “OPAT MARSABUTUHA SISADA AMA MARDUA INA”.
Silaban,
Lumbantoruan, Nababan, Hutasoit adalah empat orang putera Boru Lontung dari
suaminya yang pertama Toga Sihombing, sedangkan Purba, Manalu, Debataraja
adalah tiga orang puteranya Boru Lontung dan suaminya yang kedua Toga Simamora.
Orang Batak bilang “PITU MARSABUTUHA SISADA INA MARDUA AMA”.
Keturunan
Toga Simamora dan Toga Sihombing, bermukim di Tano Tipang Bakkara.
Tuan Sumerham bersama tiga orang Saudara tirinya (Purba Manalu
Debataraja), tinggal serumah dan keturunan Toga Sihombing berada serumah
di tempat lain.Tuan Sumerham memperistri putri dari keluarga marga
Siregar juga cucu dari Lottung. Kemudian sejarahnya, semuanya sudah
berkeluarga. Purba, Manalu, Debataraja masing-masing
segera dikaruniai anak. Sedangkan Tuan Sumerham dengan istrinya
Tiopipian br. Siregar belum mempunyai anak. Hal inilah salah satu yang
menganjal hubungan antara
keluarga Tuan Sumerham dengan ketiga Saudara tirinya.
Berbagai ejekan dan hinaan hampir setiap hari diterima oleh oppung kita,
boru Siregar dan tetap tidak “dihailahon tondi na” Hal ini juga diselami
oppung kita Tuan Sumerham. Pada suatu saat oppung boru kita,
boru Siregar memohon kepada Tuan Sumerham, agar mereka pergi jauh
dari ketiga Saudara tirinya nya, karena boru Siregar sudah tidak tahan
lagi atas ejekan dan hinaan para istri ketiga Saudara tirinya. Akhirnya
pada suatu malam hari, saat Saudara tirinya tertidur, mereka meninggalkan
Tano Tipang Bakkara dengan terlebih dahulu mengamankan pusaka Toga
Simamora yaitu,
- Pedang
sitastas nambur yang diikat oleh emas, Tetapi Sarung dari Pedang
disembunyikan di Bonggar-bonggar.
- Tombak,
tangkainya (stik) di kubur di salah satu tiang rumah.
- Pustaha
(buku lak-lak).
- Gong
(ogung sarabanan) di kubur di pokok nangka silambuyak (pinasa silambuyak).
Setelah Tuan
Sumerham mengamankan ke-empat barang pusaka tersebut, maka merekapun pergi
menuju suatu tempat yang belum mereka ketahui. Sebagai acuan
mereka tinggal di mana?, Oppung Tuan Sumerham mempersiapkan sekepal
tanah dari Tano Tipang Bakkar, yang akan di bandingkan dengan tanah
pilihan mereka dimana kelak akan berdiam/tinggal. Rupanya Tuan
Sumerham, masih mempunyai keyakinan, kelak akan kembali dan mempunyai
keturunan. Hal ini ditandai oleh, :”setiap belokan Tuan Sumerham menjepitkan lidi
pohon aren (pakko) dengan ujung lidi tersebut mengarah ke arah dari mana mereka
datang”
Catatan
(ceritra tambahan, sesampainya mereka di bukit, untuk beristirahat, karena
bukit tersebut tidak cocok dengan tanah yang mereka bawa lalu bergegas untuk
melanjutkan perjalanan, ternyata, sanggul /konde oppugn boru kita tertinggal di
sana, maka disebut Dolok Sanggul. Setelah menuruni bukit tadi, mereka
beristirahat sambil mencocokan tanah yang mereka bawa. Ternyat tidak cocok juga
maka mereka kembali bergegas melanjutkan perjalanan. Rupanya tongkat Oppung
boru Siregar yang terbuat dari bambu, ketinggalan ditempat mereka istirahat.
Maka tempat itu dinamakan Sibuluan) Tibalah mereka (Tuan Sumerham dan Tiopipian
br Siregar)
di suatu tempat pebukitan, yang kita kenal sekarang bernama “LOBU TONDANG”
Pebukitan tersebut sangat cocok dan pas dengan tanah yang mereka bawa dari Tipang
Bakkara. Mereka pun tinggal di sana. Dipelataran Lobu Tondang, terdapat sebuah
pohon, yang disebut pohon rambe, yang setiap saat berbuah banyak. Tidak mengenal
musim, kembang dan buah matang silih
berganti setiap saat. Itu sebabnya buah matang tidak pernah kosong dan lumayan
banyak. Rasanya manis asam dan lebih dominant rasa manisnya kalau sudah matang sempurna.
Buah inilah yang menjadi makanan mereka setiap hari, ditambah dengan hasil
berburu, sebelum hasil
tani mereka panen. Sedikit ke lereng pebukitan tersebut, terdapat mata air yang
keluar dari Batu sangat segar dan jernih, menjadi sumber air bersih dan cuci
mandi bagi Tuan Sumerham dan boru Siregar.
Dalam keadaan tanah tercangkul dii areal mereka tinggal, Oppung boru bingung,
mau menanam apa? Sementara sebiji benihpun tidak mereka bawa. Tanpa diketahui
dari ana asalnya, tumbuh sebatang padi di ladang yang merka cangkul, lalu
meraka rawat dan dibuat menjadi benih, itulah asal mula mereka bertanam padi.
Penulis masih sempat memakan nasinya disebut padi sisior
berasnya merah, dan sering dikatakan orang di kampong Pakkat, padi si Rambe.
Padi tersebut punah akibat bibit padi unggul dari pemerintah. Ternyata buah
rambe ini mungkin mempunyai khasiat**) untuk menyuburkan kedua oppung kita Tuan
Sumerham dan boru Siregar. Maka pada suatu saat Oppung kita boru Siregar
mengandung anak pertamanya. dan seterusnya hingga mempunyai tiga orang putra
dan satu orang putri bernama Surta Mulia br. Rambe. Anak Pertama diberi nama
Rambe Toga Purba, Anak Kedua diberi nama Rambe Raja Nalu, yang terakhir Rambe
Anak Raja dan Rambe menjadi icon ketiga anaknya dengan keyakinan, karena Buah
Rambe itulah Tuan Sumerham dan boru Siregar dapat berketurunan yang selanjutnya
menjadi marga keturunan Tuan Sumerham.**)
Beberapa orang parumaen Rambe yang lama tidak mempunyai keturunan, dengan hati
yang tulus dan tekat yang murni, pergi ke Lobu Tondang untuk memakan buah Rambe,
ternyata menjadi punya anak. Ketulusan dan kemurnian tekad serta tidak ada rasa
ego dan serakah, akan membuahkan hasil. Ini dibuktikan dua orang paniaran rambe
salah satu parumaen Rambe yang
serakah, didorong oleh keinginan yang kuat, sehingga dia berpikir biarlah saya
yang berhasil, yang lain tidak perduli, maka dia gagal mempunyai keturunan.
Karena pada saat itu ada bersama dia juga parumaen Rambe, hampir tidak kebagian
dibuat yang bersikap serakah tersebut. Dan
memangis di pohon rambe tersebut. Karena seseorang kasihan, maka sebiji rambe
yang dia pegang dengan maksud untuk dimakan, akhirnya diberikan kepada yang menangis.
Ternyata dia yang berhasil punya anak.
Pertemuan
Tuan Sumerham dengan Raja Tuktung Pardosi Tempat yang dipilih Tuan Sumerham dan
Br Siregar menjadi tano tombangan mereka, ternyata masuk wilayah kekuasaan Raja
Tuktung Pardosi. Tanpa sepengetahuan Raja mereka tinggal di sana. Raja pardosi
sendiri
mengawasi kerajaannya melalui benda-benda yang hanyut pada sungai yang mengalir
di wilayahnya. Dia tidak perlu menyisir wilayah untuk mengetahui keadaan di pedalaman.
Satu ketika, Raja mengamati wilayahnya dengan emlihat yang hayut di Sungai
Sirahar. Alangkah
kagetnya Raja setelah melihat, ada potongan kayu dan jerami yang hanyut di
sungai tersebut. Dengan melihat yang hanyut itu, Raja berkesimpilan, ada
penduduk gelap yang berdsiam di wilayah kekuasaanya tanpa ada laporan. Segera
raja dan pengawalnya mencari penduduk gelap tersebut untuk dimintai keterangan
dan memberi sanksi. Bertemulah Raja Pardosi dengan Oppung kita Tuan Sumerham.
Setelah pertanyaan serta berbagai penjelasan Tuan Sumerham dan keluarga di
jatuhi sanksi “harus memberikan upeti setiap mendapatkan hasil dari pekerjaan”.
Hasil buruan, harus diberi kepala buruan kepada raja. Hasil pertanian setiap
musim panen, lebih
dahulu diberikan ke Raja baru bisa di makan oleh keluarga Tuan Sumerham. Satu
hal yang menguntungkan keluarga Tuan Sumerham, Raja tidak memberi kategori
tawanan kepada keluarga uan Sumerham. Dengan demikian Tuan Sumerham dapat berusaha
melepaskan diri dari segala sanksi.
Untuk melepaskan diri dari Upeti, (apakah karena tuntutan anaknya atau untuk
masa depan keluarganya, tentu Tuan Sumerham yang tau. Dia membuat pekerjaan
yang jitu. Sebagaimana biasa dipagi hari Tuan Sumerham pergi melihat jebakan
rusa (sambil/jorat). Dia melihat joratnya
menjebak Rusa yang sangat besar dan berbulu panjang, lalu Tuan Sumerham memberi balankon/mahkota/bulang- bulang di kepala Rusa
dengan warna Putih, Hitam dan Merah dia
atur sedemikian seolah bukan buatan manusia. dan bekas jejaknya dia rapikan
kembali, sehingga
kelihatannya belum ada yang melihat rusa tersebut dari dekat. Tempat itu sampai
sekarang disebut Panambilan (asal kata sambil atau jorat) Tuan Sumerham dengan
segera menemui Raja Tuktung Padosi dan menceritrakan Rusa tersebut, kira-kira beginilah
dialognya:
“,,,,,,,,,Yang Mulia Raja yang dihormati, mengingat perjanjian kita saya tidak
mau inkar, tetapi saya takut. Saya tidak tau apa gerangan yang akan terjadi
kelak dengan tanda-tanda hasil jebakan
yang saya dapatkan. Saya tidak berani membunuh sebelum saya tanyakan kepada
Sang
Raja. Itu sebabnya saya datang,,,,,”
“,,,,,,,Ada apa rupanya Tuan Sumerham?,,,,,,,”
“,,,,,,,Raja yang saya hormati, jebakan saya mendapatkan seekor rusa yang besar, tetapi saya takut
mendekatinya, silakan kita lihat yang mulia,,,,,,,,,,”
Berangkat lah Raja dengan panduan Tuan Sumerham ke tempat Jebakan tersebut.
Dari kejauhan Tuan Sumerham sudah menunjuk kepada rusa yang bermahkota kain
putih, hitam, dan merah. Ternyata benar yang disiasatkan Tuan Sumerham. Sang
Raja kaget melihat rusa yang bermahkota tersebut sangat menyeramkan dan
berkata;
“,,,,,,,,,
di ho ma na di ho!?. Mulai saonari, unang be lean ugut ni na ni ulam. Aha pe
boa-boa ni ursa I sahat di ho ma I, ndang sahat tu au dohot harajaonhu
I,,,,,,,,,,,,,” (artinya, kaulah yang betanggung jawab atas alamat apa yang
akan terjadi oleh rusa tersebut. Jangan lah beralamat ke saya dan kerajaan
saya. Mulai sekarang tidak usah kau laksanakan sanksi sesuai perjanjian kita.)
Sejak saat itu Tuan Sumerham dan keluarga lepas dari segala upeti kepada Raja.
Mereka bebas melakukan apa saja tanpa dibebani oleh peraturan Raja.
Raja Tuktung Pardosi, mempunyai tiga orang Putri, yang tertua mernama Nanja br
Pardosi, kedua Kirri br Pardosi, ketiga Rubi br Pardosi. Sementara Rambe Purba,
Rambe Raja Nalu, dan Rambe anak Raja sudah berajnjak dewas, demikian juga
ketiga boru Pardosi. Oleh Kuasa maha
Pencipta, mereka dipertemukan menjadi Pemuda dan Pemudi yang saling mengikat
Janji. Untuk merealisasikan janji mereka, maka Raja Tuktung memberi syarat.
Tuan Sumerham dan keluarga harus banyak/ramai menghadiri pernikahan tersebut.
Suatu hal yang sulit bagi Tuan Sumerham, mengingat kepindahanya ke Lobu Tondang
karena perlakuan Saudara tirinya yang menyakitkan. Tetapi karena sudah
merupakan syarat dari Raja, maka Tuan Sumerham memberangkatkan ketiga anaknya
untuk mengundang Saudara Tirinya dari Tano Tipang Bakkara.
Sebelum berangkat, Tuan Sumerham memberi nasehat, pesan dan petunjuk yang harus
mereka lakukan. Mereka harus selalu mengarah kepada ujung lidi (tarugi) pohon aren
yang di jepitkan pada kayudi setiap belokan. Sesampainya mereka di sana, mereka
akan di tangkap dan dipasung, kemudian pada pagi hari akan disembelih/ dibunuh.
(demikian lah ceritanya, dahulu, kalau ada orang yang tidak dikenal masuk
kampung, ditangkap dan lalu dibunuh) Pada saat di pasung, mereka harus
melantunkan lagu berulang-ulang sambil menangis. Bahasa lagunya
“mago do hape horbo namulak tu barana”,
“mago do hape takke namulak tu sokkirna”,
“mago do hape jolma namulak tu hutana”
artinya suatu hal yang tidak mungkin terjadi, apabila mata kampak kembali ke
tangkainya menjadi hilang, kerbau menjadi hilang kalau kemali kek kandang, juga
manusia menjadi hilan pabila kembali ke kampong. Tetapi itu akan terjadi pada
mereka bertiga kalau tidak menayakan
mereka anak siap. Mereka punya Namboru yang buta bernama Si Buro Aek So
Hadungdungan Tanda tanda, yang dapat mereka berikan yaitu, Ogung sarabanan
dikubur di pohon nangka silambuyak dekat rumah, Tangkai tombak dikubur di kayu
Pilar pertenghan Rumah Bolon, Sarung dari pedang, disimpan diplafon rumah bolon
(bonggar- bonggar).
Tuan Sumerham memberangkatkan anaknya yang tiga dalam kekawatiran, maka
berkali-kali dipesankan agar mereka mengikuti petunjuk dan pesan serta menjawab
pertanyaan sesuai substansinya dan tidak perlu menjawab apabila tidak ditanya.
Berangkatlah mereka bertiga dengan mengikuti lidi tarugi yang sudah ditunjukkan
Tuan Sumerham sebagai awal melangkah. Apabila mereka sudah menemukan lidi selanjutnya
mengikuti arah ujung lidi itu, sampai menemukan lagi lidi berikutnya dan
mengarah kea rah
ujung lidi tersebut. Demikian mereka menelusuri hingga sampai ke tempat tujuan.
Tibalah mereka di Tano Tipang Bakkara. Apa yang diisyaratkan Tuan Sumerham
terjadilah kepada mereka ditangkap dan dipasung ditempatkan bawah Rumah.(Dahulu
rumah batak bertiang tinggi dan dibawah sebagai kandang ternak seperti sapid an
kerbau) Pada malam hari mulailah mereka melantunkan syair yang diajari Tuan Sumerham
dengan penuh ketakutan dan menagis, terus
menerus (diandunghon), Pada tengah malam,Namborunya mendengar andung mereka
semakin di cermati semakin berdiri bulu kuduknya lalu ia menemui Saudara
tirinya yang sedang Rapat acara pembunuhan ketiga orang itu di pagi hari. Lalu
Namborunya angkat bicara.
“,,,,,,,,,,,
Hamu akka hula-hulaku, atik boha tu julu uluni na mate maup. Adong dongan tubu
mu/Abang mu na mago. Atik boha dung dipangarantoan mamoppar. Asing hubege adung
nasida. Dao-daoma jea sukkun hamu jolo nasida,,,,,” Mendengar itu, mereka pun
stop rapat dan
memperhatikan dan mencermati lantunan adung mereka bertiga. Merka pun turn dan
bertanya;
“,,,,,,,,,Siapa kalian sebenarnya?,,,,,,,,”
“,,,,,,Bagaimana kami menjawab? Sedangkan kami dalam keadaan terpasung?,,”
Maka mereka di lepaskan dan diajak naik ke rumah lalu ditanyalah seperti
layaknya Tamu terhormat.
“,,,,,,,,,,,kami adalah anak dari Tuan Sumerham,,,,,,,,”
“,,,,,,,,,Apa bukti kalau kalian anaknya,,,,,,,,,,”
“,,,,Ogung Sarabanan di kubur dekat pohon nangka silambuyak,,,,,,”
Lalu merka menggali pada malam itu juga. dan mereka menemukannya.
“,,,,,,Apalagi tanda yang dapat kamu berikan?,,,,,,,,,,”
“,,,,,,Tangkai tombak di kubur di tiang tengah/pilar tengah rumah bolon,,,,,,”
Mereka juga langsung menggali, dan menemukannya.
“,,,,,,Apalagi,,,,,,,?”
“,,,,,,,,,,Sarung pedang ada di plapon/bonggar-bonggarrumah bolon,,,,,”
Mereka cari juga ketemu. Dan apa lagi, “,,,,,,,,kalau pustaha dibawa ke
perantauan, dan ada sama bapak sekarang,,,,”
Dengan senang hati namborunya mendengar semua peristiwa itu, dalam hatinya dia
berdoa, terimakasih mula jadi nabolo hidup dan berketurunan rupanya hula-hula saya
itu. Terima kasih mula jadi nabolon, begitulah dalam hatinya. Lalu mereka
ditanya kembali.
“,,,,,,,,, Ya… kami sudah percaya, lalu apa maksud kedatangan kalian,,,,,,,?
“,,,,,,,Kami bertiga mau menikahi tiga orang putrid Raja Tuktung di panombagan
nami, tetapi raja bersyarat, kita sekeluargan harus ramai. Maka kami datang
untuk
mengundang,,,,,,,”
“,,,,,,ooOOooo, ,,kami akan datang, “marhoda-hoda bakkuang, marbonceng-bonceng
ihurna”,,,,,,,,,,,,,”
Mereka bertiga tidak mengerti arti dari kalimat tersebut, langsung mengucapkan
terima kasih dan pamit untuk pulang.
Mereka kembali mengikuti lidi tarugi untuk pulang ke Lobu Tondang. Merekapun
melaporkan hasil kunjungan mereka mengundang Saudaranya yang di Tano Tipang
Bakkara, dan memberitahukan kalimat yang diucapkan saudaranya, mendengar itu
Raja Tuktung Kaget. Karena arti dari “marhoda-hoda bakkuang……….” Artinya berperang.
Bagi
Raja Tuktung, adalah suatu tantangan sebab sudah ditentukan hari H. undangan
pun sudah berjalan tinggal pelaksanaan. Seorang tidak mungkin membatalkan acara
yang sudah dirancang, karena menyangkut harga diri raja.
Raja harus bertanggung jawab atas apa yang sudah ditetapkan. Lalu Raja Tuktung mempersiapkan
Tentaranya untuk cegah tangkal pada pesta perkawinan ketiga putrinya. Dengan
persiapan yang sudah sangat matang, semua siap pada posisi masing-masing
sebagai
pengamanan detik-detik perkawingan putrinya, Pada waktu “sagang ari” (pukul
10.00) undangan Tuan Sumerham, yaitu keluarga saudara tirinya, sudah menjelang
tempat pesta, dengan membunyikan kode perang ***
***menurut yang disejarahkan oleh para orang tua, bahwa, pada saat itu ada
usaha sekaligus untuk menghilangkan jejak atau sejarah adanya Tuan Sumerham.
Dengan tujuan sejarah Toga simamora hanya ada satu jalur sejarah, yaitu Toga
Simamora dan tiga anaknya Purba, Manalu, Debataraja. Maka dalam pemikiran
mereka, belum begitu banyak dengan hitung hitungan kekutan, bahwa Tuan Sumerham
dan keluarga dapat mereka lenyapkan dengan segera. Mereka sama sekali tidak
memperhitungkan kekuatang tentara kerajaan. Kode perang tersebut langsung
disambut oleh Tentara Kerajaan Pardosi, maka mereka yang datang dari Tipang Bakkara
(Saudara tiri red.) dengan tujuan menghilangkan jejak Tuan Sumerham, tidak
kesampaian. Maka mereka dipukul mundur tunggang langgang oleh Tentara Kerajaan,
kembali ke Tipang Bakkara dengan kegagalan, yang mengakibatkan adanya marga
Rambe sampai sekarang.
Pesta perkawinan berjalan selanjutnya, tanpa ada gangguan, maka pasangan,
pasangan pengantin adalah sebagai berikut: Rambe Toga Purba istrinya Rumbi br. Pardosi;
Rambe Raja Nalu dengan istrinya Kirri br. Pardosi; Rambe Anak Raja dengan istrinya
Nanja br. Pardosi.
Demikan lah mereka hidup berumah Tangga dengan damai, namun pikiran Tuan
Sumerham, masih bekerja untuk mendirikan parhutaan bagi ketiga anaknya. Salah satu
peluang yang dapat dimanfaatkan adalah ketiga parumaennya sebagai putri Raja yang
berkuasa di daerahnya, maka Tuan Sumerham mengumpulkan ketiga anaknya bersama
istri masing-masing. Tuan Sumerham
memaparkan nuansa pemikirannya untuk masa depan mereka, dengan keberadaan
mereka numpang hidup di kerajaan Pardosi, posisi mereka sangat lemah. Peluang untuk
kembali ke Tipang Bakkara memang masih ada namun wilayah tersebut dapat
dikatakan relative sempit.
Sedangkan wilayah kerajaan Pardosi, masih sangat luas.
,,,,,,,,,, “Lalu apa yang dapat kami perbuat ?,,,,,,,,” jawab ketiga anak dan
parumaennya.
,,,,,,,,,, “Masih ada peluang kalian mempunyai tanah yang luas, sebagai
kerajaan kita yang bakal kerajaan kalian bertiga. Asalkan kalian mau menuruti
apa yang saya suruh,,,,,,,”
,,,,,,,,, “Kami mau melaksanakannya demi terkabulnya cita- cita ayah,,,,,”
jawab mereka bertiga sepakat.
,,,,,,,,, “Pergilah kalian “marebat” ke kampung Raja, yaitu mertua kalian,
setelah satu hari menginap, biarkanlah dulu parumaenku tinggal disana, kalian
bertiga pulanglah dulu untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Bagi ketiga parumaenku
tinggallah dulu disana untuk beberapa lama, sampai ada pertanyaan dari Raja
(besan Tuan Sumerham) dan pasti akan ditanya permintaan kalian agar kembali ke keluarga
masing-masing. Nah kalian Parumaenkulah yang
mengatur, seberapa luas wilayah kerajaan kita yang kalian inginkan,,,,,,,,”
Maka mereka bertiga serta istri masing-masing pergi ke rumah Raja Tuktung
layaknya marebat” sesuai adat kebiasaan, pengantin harus melaksanakan mebat,
setelah beberapa lama menikah**). Sesuai dengan yang diskenariokan Tuan
Sumerham, maka besok harinya ketiga anaknya pulang dengan alasan kepada Raja
untuk melanjutkan kegiatan sehari-hari demi kehidupan mereka
sebagai keluarga. **) “marebat” dimaksud adalah “paulak une” dalam acara perkawinan
ulaon sadari,. adalah acara adat lanjutan setelah beberapa hari menikah. Acara
ini erat kaitannya
dengan hukum perkawinan adat batak. Acara ini menjadi kunci sebuah rumah tangga
lanjut atau cukup sampai paulak une tersebut. Bagi pihak parboru, acara ini
paling sangat dibenci, tapi harus dilaksanakan. Pembahasan tuntas pada hokum adat
perkawinan Bagi Raja Tuktung, keadaan seperti itu, merupakan hal yang biasa
pada perlakuan adat sehari-hari. Tetapi hari semakin bertambah hari, Raja mulai
gelisah, karena ketiga mantunya, belum juga datang untuk menjemput istri masing-masing,
sementara ketiga putrinya pun tidak bergeming untuk berencana pulang kembali ke
suami masing-masing. Tentu sebagai Raja yang dihormati, adalah aib baginya,
ketiga putrinya yang sudah menikah, berlama- lama di rumahnya atau kampungnya.
Hari bertambah hari, tidak ada tanda-tanda dari ketiga putrinya ingin pulang ke
Suami masing-masing. Tentu hal semacam ini membuat raja semakin pusing, maka
dari pada berlama-lama,
akhirnya Raja mengumpulkan mereka bertiga, dan bertanya kenapa mereka belum
berencana pulang ke suami masing-masing? Mereka bertiga diam tidak menjawab.
,,,,,
”apakah
kalian mempunyai kesalahan terhadap mertua atau suami kalian,,,,,,,,?” Mereka
tetap
diam tidak menjawab, sampai raja marah, mereka menyangkal tuduhan/kekhawatiran
Raja. Akhirnya raja membujuk ketiga putrinya.
,,,,,,”Apakah ada yang ingin kalian minta dari saya,,,,,,? Mereka bertiga
tersenyum, namun belum menjawab. Melihat mimik itu raja semakin yakin, kalau
mereka punya permintaan,
,,,,,,,”baiklah, saya akan memberikan apa yang kalian minta, asalkan kalian
kembali ke suami masing-masing untuk mengurus rumah tangga kalian,,,,,,,,”
Dengan serempak mereka menjawab.
,,,,,,,”Apakah janji bapak itu betul,,,,,,?
,,,,,,,,” iya,,,, akan saya penuhi, asal kalian kembali mengurus menantu saya
dan keluarga kalian,,,,,”
Lalu mereka bertiga mengajak raja ke atas bukit*) dekat rumah raja. Setelah
sampai di atas, mereka mengajukan permintaan dengan berdiri seolah membuat
lengkungan menghadap kampung raja.
*) Bukit tersebut dikenal di Pakkat bernama Gotting, dan merupakan perbatasan
Tano Rambe dengan Tukka harajaon Pardosi.
,,,,,Bapak,,,,! Inilah permintaan kami. Seluas mata memandang ke belakang kami,
berilah itu sebagai kerajaan kami, agar kami bertiga mempunyai kerajaan.,,,,,”
Sebagai seorang raja, janji atau omongannya merupakan peraturan atau
undang-undang. Maka ditetapkanlah tempat berdiri mereka sebagai perbatasan
antara Negeri Rambe (kerajaan marga Rambe yang luasnya satu kecamatan minus
kerajaan pardosi, Kerajaan Simanullang)
Maka batas kerajaan Negeri Rambe, adalah Gotting kearah Tukka Barus, Parajaran
(dulu sekarang lepas krena kelemahan rambe), Kearah Parlilitan sebelum Aek
Riman, lalu dengan Marbun aliran sungai Sisira sampai ke Sibongkare, lalu
kesijarango, Sungai Sisira masuk kerajaan Rambe, kearah Timur laut Sijarango
berbatasan dengan Simatabo, kearah Timur menyusuri lembah pegunungan Sapparungan,
Sipahutu-hutu (merupakan hulu dari Sungai
sirahar yang mengalir dari Sijarango hingga ke sigorbus), Rabba Pattil kearah
Gunung Pinapan, Simbo kearah Banuarea, Batu papan, gn Tua Jagapayung
Sirandorung kemudian menelusuri pegunungan Sampuran Sipulak dan kembali ke
Gotting. Jadi jelas merupakan wilayah yang
sangat luas menjadi satu kecamatan. Setelah ketiga anak tuan Sumerham mempunyai
anak, dan Tuan Sumerham menyadari dirinya sudah tua, perlu untuk menempatkan anak-anaknya
sebagai strategi penguasaan Teritorial ditempatkan lah Rambe Toga Purba
istrinya Rubi br. Pardosi ditempatkan di Tambok Rawang Jakhadatuon/ Batugaja
sebelah selatan Lobu Tondang dengan daerah penyebaran kearah selatan, Tenggara,
dan Barat daya.
Rambe Raja
Nalu dengan istrinya Kirri br. Pardosi ditempatkan di Rura Parira Sibambanon
sebelah Timur Lobu Tondang, dengan daerah penyebaran keturunannya Timur, Timur
Laut dan Tenggara,. Rambe Anak Raja dengan istrinya Nanja br. Pardosi
ditempatkan di Tolping
sebelah Barat Lobu Tondang dengan daerah penyebaran keturunan daerah Barat Daya
dan Barat Laut. Daerah Utara yang dibentang oleh sungai Sisira menjadi daerah panombangan
sekaligus menjadi batas bagian Utara Negeri Rambe.
Hingga
generasi ke-7 sejalan dengan kepergian keturunan Rambe Raja Nalu ke Sipionot
yang menjadi Baginda So Juangon yang menyusul bapaknya memakai marga Rambe dan
hingga di Sipiongot dan sekitarnya tetap memakai Marga Rambe. Generasi ke 8
anak dari yang menjadi
Baginda So Juangon, juga memakai marga Rambe sampai generasi ke 9 sejalan
dengan datangnya Kappung Meman Debataraja ke Sijarango, Rambe masih eksis di
Negeri Rambe, Pakkat Menurut penelusuran saya, bahwa keturunan Tuan Sumerham
sebelum masuknya rintisan jalan oleh Belanda ke seluruh daerah di sumatera
utara, masih memakai marga Rambe. Ini dibuktikan oleh
1.
Nisan marga Manik yang terdapat di Sijarango tertulis “Op.
Ganda Marimbulu Manik/br. Rambe”
2. Surat
Keterangan dari pemerintah Belanda tahun 18 sekian tertulis “Aman Sampe Rambe
marhoendoelan di Pakkat Barus Hulu”. Ternyata keturunan Aman Sampe Rambe
sekarang ini memakai marga Purba
3.
Marga Rambe sendiri yang tinggal di daerah selatan Sumatera
Utara (UtamanyaSipiongot dan Gunungtua sekitarnya) adalah keturunan Tuan
Sumerham dari Pakkat pada generasi 5 atau ke 7 pergi merantau ke sana dan bermarga
Rambe, hingga sekarang memakai marga Rambe.
Pada
zaman Pemerintahan Belanda, Tarombo Tuan Sumerham Rambe, (seperti yang telah
dibukukan sekarang ini), sebenarnya telah diperjelas dan diakui oleh Marga
Poerba, marga Manaloe dan Marga Debataradja, Pomparan ni Toga Simamora dari
istri keduanya Boru Lontung yang berdomisili di dalam dan diluar Negeri Rambe
baroes Hoeloe seperti di Dolok sanggoel, Bonandolok, Hoeta Djoeloe Manaloe,
Simamora Nabolak dll., dalam Rapat/Pertemuan yang diadakan oleh Pemerintah
Belanda Waktoe Itoe pada Tahoen 1929 di Dolok Sangoel dan tahun 1936 di
Siborong-borong.
Perlunya
Tarombo Rambe Waktoe Itoe, ialah untuk memperlakukan peraturan Pemerintah
Belanda yang menyatakan bahwa Pejabat Pemerintah Desa di Negeri Rambe Baroes
Hoeloe mulai Kepala Kampung sampai Kepala Nagari haruslah dari MARGA RAMBE,
Untuk memperjerlas itulah maknanya Tarombo Rambe dibicarakan dalam suatu Rapat
Khusus tahun 1929 dan tahun 1936.
Dalam
Rapat/Pertemuan yang diadakan tahun 1929 di DOLOK SANGGUL, dirumah RADJA POLIN
POERBA, semua hadirin yang terdiri dari utusan Pomparan NI Tuan Sumerham Rambe,
dan utusan Pomparan ni POERBA, MANALOE dan DEBATARADJA TELAH MENYETUJUI dan
MENGAKUI dan TIDAK SEORANGPUN YANG MENYANGKAL atau KEBERATAN atas SEJARAH dan
TAROMBO TUAN SUMERHAM RAMBE yang diperjelas dan diterangkan bukan oleh
keturunan Tuan Sumerham Rambe Tetapi oleh RADJA PAGADING MANALOE, RADJA PANDOEA
SISODING waktu itu.
Namun,
pada tahun 1936 kembali lagi digelar Rapat/Pertemuan serupa di KANTOR
CONTROLEUR HOOGVLAKTE VAN TOBA HET ORDERDISTRICT BOVEN HOEMBANG di
SIBORONG-BORONG. VOORZITTER waktoe itoe ialah MR. TOEAN RADJA BOENTAL
SINAMBELA, dalam rangka pemilihan dan pengangkatan RADJA-RADJA, KEPALA KAMPUNG
KEPALA NAGARI di Negeri Rambe Baroes Hoeloe. Menurut Pengaturan Pemerintah
Belanda waktu itu, mereka yang akan dicalonkan untuk JABATAN-JABATAN tersebut
di NEGERI RAMBE, harus dipilih MARGA RAMBE.
Dalam
Rapat/Pertemuan ini SEJARAH dan TAROMBOTUAN SUMERHAM RAMBE dijelaskan oleh
RADJA PANGGADING MANALOE, RADJA PANDOEA SISODING, yang isinya persis sama
dengan isi Buku ini dan Buku Sejarah dan Tarombo Tuan Sumerham Rambe, yang
disusun dan ditulis oleh T. F Rambe Purba BBA terbitan Agustus 1992. Pada Rapat
ini sengaja ditunjuk yang akan menjelaskan Sejarah dan Tarombo Tuan Sumerham
Rambe, bukanlah dari salah seorang Pomparan Ni Tuan Sumerham Rambe.
Oleh
karena KETERANGAN dan PENJELASAN yang dipaparkan oleh RADJA PAGADING MANALOE,
RADJA PANDOEA SISODING begitu jelas dan begitu lengkap dan TIDAK SEORANGPUN
MEMBANTAH terutama Para Utusan dari Pomparan ni POERBA, MANALOE dan DEBATARDJA.
Pada saat itu RADJA PAGADING MANALOE, RADJA PANDOEA SISODING menjelaskan
kembali bahwa BUKANLAH TOGA SIMAMORA dan ISTRINYA YANG PERTAMA (“TUANLAENNA”)
YANG “HOL” DAN KARENANYA PINDAH KENEGERI RAMBE, seperti kata penulis W. M.
Hulagalung pada tahun 1926. Namun yang pindah dari Tipang Bakkara, yang
akhirnya menetap di Negeri Rambe adalah TUAN SUMERHAM (putera Toga Simamora
dari istrinya yang pertama BORU SARIBUJARA/BORBOR) dengan istrinya TIOPIPIAN
BORU SIREGAR SIREGAR SILALI yang “HOL” waktu itu.
Dijelaskan
juga waktu itu bahwa BUKANLAH TOGA SIMAMORA YANG KAWIN LAGI DENGAN BORU PARDOSI
DI NEGERI RAMBE dan punya 4 (empat) putera dari Bru Pardosi yaitu : Manalu,
Debataraja, Purba, dan Tuan Sumerham (Toga Rambe), seperti kata Penulis W.M.
Hutagalung pada tahun 1926. “INI SALAH” kata RADJA PAGADING MANALOE, RADJA
PANDOEA SISODING dalam Rapat/Pertemuan tahun 1936 di Siborong-borong. Beliau
jelaskan lagi: “setelah pindah dari Tipang Bakkara, maka akhirnya Tuan Sumerham
dan Tiopipian Br. Siregar Silali setelah menetap di HUTATONDANG Negeri Rambe,
disanalah dia menjadi “Gabe”, punya 3 (tiga) PUTERA yang diberikan nama MIRIP
nama adik-adik Tuan Sumerham yang di Tipang Bakkara
Kata
Mirip disini artinya tidak serupa Yaitu ;
1)
RAMBE TOGA PURBA
2)
RAMBE RAJA NALU dan
3)
RAMBE ANAK RAJA
Mereka
bertiga inilah yang kawin dengan 3 (tiga) BORU PARDOSI, kakak beradik.
Disamping ketiga puteranya, Tuan Sumerham juga punya seorang puteri yaitu
SURTAMULIA yang kawin dengan Marga PASARIBU BONDAR dsan menempati suatu daerah
pemberian Tuan Sumerham Rambe sebagai “PAUSEANG” yang sekarang ini daerah itu
dinamai PEADUNGDUNG, SIRANDONG, Pakkat Tapanuli Utara”.
Oleh
karena penjelasan yang begitu lengkap dan semua peserta rapat/Pertemuan SETUJU
dan TIDAK SEORANGPUN YANG MENYALAHKAN, VOORZITTER waktoe itoe ialah MR. TOEAN
RADJA BOENTAL SINAMBELA.
SIAPA
BAGINDA SOJUANGON
Setelah
raja baginda Sojuangon wafat, Beliau digantikan oleh putranya bungsunya menjadi
Raja di Hutaimbaru sedangkan anak-anaknya yang lain menjadi Raja daerah-daerah
yang sebelumnya diberikan Ayahanda mereka kepada mereka masing-masing sebagai
daerah otonom.
Raja
Baginda Raja Sojuangon dimakamkan di Aek Pisang, Sipiongot dan disisi
kanan-kirinya dimakamkan kedua istrinya. Pomparan Raja Baginda Raja Sojuangan
saat ini telah tersebar di mana-mana untuk berjuang menjelang hari esok yang
lebih baik.
Raja
Baginda Raja Sojuangon dimakamkan di Aek Pisang, Sipiongot dan disisi
kanan-kirinya dimakamkan kedua istrinya. Pomparan Raja Baginda Raja Sojuangan
saat ini telah tersebar di mana-mana untuk berjuang menjelang hari esok yang
lebih baik.