Batak Toba, suku yang
Besar di Pulau Sumatera memiliki tatanan masyarakat yang cukup unik. Dimana adanya
dinamika kasta. Arinya tidak selamanya seseorang menjadi raja, pelayan ataupun
saudara. Ada masa dimana kita harus menjadi Tuan Rumah, tapiu ada juga masa dimana kita harus menjadi
pelayan dalam acara tertentu. Hal ini terangkum jelas dalam filosofis
masyarakat Batak Toba yang menjunjung kekerabatan yang disebut dengan “Dalihan
Natolu”.
Dalihan Na Tolu adalah
filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya
Batak. Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat
darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat batak,
Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu
konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga
tungku tersebut adalah:
ü Somba Marhulahula: ada yang
menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hul-hula, namun ini tidak tepat.
Memang benar kata Somba, yang tekananya pada som berarti menyembah, akan
tetapi kata Somba di sini tekananya ba yang adalah kata sifat dan
berarti hormat. Sehingga Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula.
Hula-hula adalah kelompok marga istri,
mulai dari istri kita, kelompok marga ibu(istri bapak), kelompok marga istri
opung, dan beberapa generasi; kelompok marga istri anak, kelompok marga istri
cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu.
Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hulahula sebagai sumber
hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari
hulahula. Tanpa hulahula tidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan.
ü Elek Marboru/lemah lembut
tehadap boru/perempuan. Berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud
tersembunyi dan pamrih.
Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga
yang mengambil istri dari anak kita(anak perempuan kita). Sikap lemah lembut
terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu
mengerjakan sawah di ladang. tanpa boru, mengadakan pesta suatu
hal yang tidak mungkin dilakukan.
ü Manat mardongan
tubu/sabutuha, suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah
salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati–hati dengan teman semarga. Kata
orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang
dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan
seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik
kepentingan, kedudukan, dan lain-lain.
Istilah Dalihan Na Tolu mempunyai arti tungku berkaki
tiga. Ini menunjukkan tiga kedudukan fungsional sebagai konstruksi sosial yang
terdiri atas tiga hal yang menjadi dasar bersama.
Ketiga tungku mewakili tiga pihak dalam pernikahan secara
adat, yaitu hula-hula (keluarga pemberi istri), boru (keluarga penerima istri),
dan dongan sabutuha (kelompok semarga).
Dari tiga kelompok itu, kelompok penerima istri (boru)
inilah yang paling sibuk mengurusi urusan resepsi pernikahan. Adapun kelompok
hula-hula sama sekali pantang membantu proses pernikahan tersebut.
Konsep Dalihan Na Tolu juga berlaku pada subetnis Batak
lain, seperti Karo, Simalungun, Mandailing/Angkola, dan Pakpak. Orang Karo
menyebut konsep ini dengan istilah Rakut Sitelu atau Daliken Sitelu. Istilah
Daliken Sitelu juga istilah yang dipakai masyarakat Pakpak. Adapun subetnis
Simalungun menyebutnya Tolu Sahundulan. Adapun orang Mandailing/Angkola tetap
menyebutnya Dalihan Na Tolu.
Dengan adanya konsep ini, masyarakat batak Toba tidak
harus merasa Minder, dengan status mereka. Karena mereka pasti akan merasakan
ketiga jabatan tersebut. Secara tidak langsung, filosofi ini mengajarkan
kesetaraan kelas dalam masyarakat dalam cara yang sulit dimengerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar