Demikian juga dengan masyarakat Batak, mereka memiliki kepercayaan yang unik, tentu agama ini sudah jarang kita temui dimasa sekarang, akibat dari invansi misionaris misionaris asing yang turut memberi corak pada kebudayaan masyarakat Batak.
Sebelum misionaris asing menyentuh peradaban masyarakat Batak, pada akhir abad ke-19, belum ada konsep penyembahan Allah yang tunggal . Mereka hidup dalam ketakutan yang berlebihan terhadap para Roh (Begu)
yang jumlahnya begitu banyak. Mereka percaya bahwa roh inilah yang membawa bala,
penyakit dan kesusahan lainnya. Roh ini diberi nama, seperti Begu Jau, Begu Siharhar, Begu Antuk, Begu
Nurnur, Begu Lading, Begu Toba, Begu Siherut, Begu Surpusurpu, Begu Sorpa, Begu
Pane, Begu Rojan, Begu Namora dll.
Mereka
juga takut terhadap roh dari leluhur mereka yang disebut Sumangot ni Ompu.
Mereka biasanya mengatasi rasa takut ini dengan memuja roh tersebut, baik roh
pembawa kesusahan maupun roh leluhur. Inilah yang disebut agama Sipele Begu/
Animisme.
Disamping
itu, mereka juga percaya akan adanya nasib (bagian). Hal ini jelas terpatri
dalam pantun batak (Umpasa):
"Masiboan pordana, tu langgu ni sasabi;
Masiboan bagianna, tu Siulubalangari."
"Andalu do panduda, anduri do pamiari;
Ai so boi tarjua, pandokkon ni soro ni ari."
"Sai tu ginjang ninna porda, sai tu toru do pambarbaran;
Tung soi halak mamora. Anggo sai pogos do didok sibaran."
Namun, bangsa Batak tidak mengenal adanya kehidupan kekal/ kehidupan
setelah kematian. Konsep ini bisa kita lihat dalah pantun Batak berikut ini:
Sarindan ni pinasa, tanotano ni hapadan;
Alogo do nampuna hosa, tano nampuna badan.
Jala tondita lao do I tu parbeguan
Mereka mengenal konsep tiga alam (Banua), yaitu
Kahyangan (Banua Ginjang), Daratan/ Bumi (Banua Tonga) dan alam bawah tanah (Banua Toru). Namun ini tidak diartikan bahwa banua
ginjang adalah surga, atau banua toru adalah neraka karena mereka belum
mengenal konsep akhirat sebagaimana yang diajarkan agam masa kini. Mereka
percaya bahwa orang yang berbuat baik akan hidup sukses, punya harta dan banyak
keturunan. Kelak ketika dia meninggal, rohnya akan tenang, dipuja oleh banyak
keturunannya. Dia akan dipandang terhormat oleh sesame roh, dan tempatnya akan
di puncak dari bukit. Sementara orang jahat dipercaya akan mandul/ tidak
memiliki keturunan (Purpur). Rohnya akan dianggap hina, karena tidak ada
kjetuirunan yang memujanya.
Adapun ketiga alam tersebut, banua ginjang, tonga
dan toru dihubungkan oleh satu pohon yang besar. Di banua ginjang, tempat
dimana pohon memiliki dahan dan ranting, tertulis takdir tiap manusia yang
hidup di banua tonga. Pohon ini tidak terlihat di banua tonga, sehingga tidak
ada satupun manusia yang mengetahui takdirnya. Jika dia ingin tahu, maka dia
harus minta tolong pada seorang Paranormal/ Tabib/ Orang Pintar (Datu) yang digambarkan sebagai: sigodang utiutian, sitorop
botobotoan,parjaha-jaha di bibir, parpustaha di tolonan (orang yang mengetahui
segala sesuatu). Namun untuk menghadirkan seorang Datu bukanlah hal yang
mudah bagi setiap orang, karena dibutuhkan uang yang tidak sedikit.
Walaupun para manusia pada zaman dahulu takut pada
roh jahat dan leluhur, tapi yang berkuasa atas kehidupan mereka adalah allah
Tritunggal (memiliki konsep berbeda dengan allah tritunggal yang dikenal
Kristen) yang dikenal dengan Debata Mula Jadi na Bolon, Dia yang dikenal
sebagai Tuan Bubi na Bolon/ Debata Batara Guru di Banua Ginjang, Ompu Silaon na
Bolon/ Debata Mangalabulan di bumi/ Banua Tonga dan Tuan Pane na Bolon/ Debata
Asiasi di Banua Toru. Adapun Debata Asiasi/ Tuan Pane na Bolon adalah allah
yang memberkati lading, yang menjadikan hujan dan panas, penentu hari, bulan
dan tahun yang baik, pembuat petir, angin dan topan. Dan allah inilah yang
menahan Bumi sehingga diberi gelar Gaja (Raja) Padoha.
Demikian informasi singkat mengenai kepercayaan purba masyarakat Batak, semoga bisa menambah pengetahuan/ wawasan para pembaca, terlebih pemuda-pemuda yang sedang mencari informasi akan identitas kebudayaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar